tercermin ambisi yang menelan langit,
gedung-gedung raksasa merobek cakrawala, seakan berbisik tentang mimpi-mimpi yang mahal.
Namun, di seberang lautan yang sama,
di pulau-pulau kecil yang terhampar,
air mata mengalir deras,
membasahi tanah yang sepi dan lusuh,
tempat kemiskinan bertahta tanpa singgasana.
Istana megah berdiri angkuh,
di atas hamparan harapan yang merapuh,
sementara di sini,
di tempat yang jauh dari sorotan kamera,
rumah-rumah reyot berpegang teguh,
melawan angin kehidupan yang terus merundung.
Ibukota, engkau seperti kue ulang tahun,
indah dipandang namun jauh dari rasa,
sementara kami,
hanya mengais remahan yang jatuh,
di antara reruntuhan mimpi yang patah.
Apa jadinya jika gedung-gedung pencakar langit,
bisa merasakan perihnya kemiskinan,
yang mengintip dari sela-sela jendela kaca?
Mungkin mereka akan menangis,
seperti pulau-pulau yang terpaksa diam,
di bawah bayangan megahmu yang tak tersentuh.
Sementara engkau terus membangun,
merajut kemewahan dalam tiap lantai,
kami di sini, di tepian yang jauh,
berjuang dalam kesunyian yang kelam,
tanpa sinyal WiFi,
tanpa kemewahan yang hanya sebatas mimpi.
Kemegahanmu, wahai ibukota,
bukanlah cermin dari kebahagiaan,
namun hanya bayangan dari ketimpangan,
yang terus merentang,
seperti jurang Weber Kepulauan Banda ,
menganga di antara kita yang berbeda.
Mungkin saja, kau ingin cepat-cepat pindah, ke planet lain yang lebih layak,
meninggalkan kami di sini,
bermain dengan istana pasir yang rapuh,
menunggu ombak kehidupan menerjang,
menghancurkan sisa-sisa harapan.
Dan di akhir cerita ini,
yang tersisa hanya air mata,
di pulau-pulau kecil yang tak terjamah,
menatap megahmu dari kejauhan,
merasa asing di tanah yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H