"Tawadhu adalah kunci yang membuka pintu kemuliaan sejati. Dalam kerendahan hati, kita menemukan kekuatan, dan dalam pengakuan akan kelemahan, kita menemukan kebesaran Allah yang sesungguhnya."
Di tengah gemerlap dunia yang kerap menggoda manusia dengan gemerincing materi dan status, terdapat sebuah harta yang jauh lebih berharga, namun sering kali terlupakan. Harta itu adalah tawadhu, atau sikap rendah hati. Bagi seorang muslim, tawadhu bukanlah sekadar sikap, melainkan manifestasi dari keimanan yang mendalam.
Dalam kajian tauhid dan aqidah, sikap ini adalah cerminan dari pengakuan terhadap kebesaran Allah dan pengakuan terhadap kelemahan diri manusia.
Asal Usul Kita yang Hina
Untuk memahami pentingnya tawadhu, kita harus kembali kepada hakikat penciptaan manusia. Asal muasal kita adalah dari setetes air yang hina. Bayangkan jika air itu menempel di tangan, badan, atau pakaian kita, tentu kita merasa jijik dan ingin segera membersihkannya.
Kita keluar dari rahim ibu melalui jalan yang dipenuhi kotoran, dan saat lahir, kita tak berdaya, tidak bisa berbuat apa-apa, tidak tahu apa-apa.
Segala yang Kita Miliki Hanyalah Titipan
Seringkali kita terlupa bahwa apa pun yang kita miliki di dunia ini bukanlah murni hasil jerih payah kita semata. Keahlian, keberhasilan, bahkan harta yang kita kumpulkan, semuanya adalah titipan dari Allah.
Kita harus sadar bahwa semua itu bukan milik kita yang sesungguhnya, dan kelak kita harus mempertanggungjawabkannya di hadapan-Nya. Tanpa bantuan orang lain dan pertolongan Allah, keberhasilan yang kita capai tidak akan mungkin terwujud.
Manusia adalah Hamba yang Lemah
Kita adalah hamba, dan sebagai hamba, kita tidak pernah lepas dari perbudakan. Pilihannya hanya dua: menjadi hamba Allah atau hamba setan. Tidak ada pilihan ketiga. Sadarilah bahwa setiap keberhasilan dan pencapaian kita selalu membutuhkan bantuan dari orang lain dan yang terpenting, dari Allah. Kita lemah, sangat bergantung kepada orang lain dan terutama kepada-Nya.