Lihat ke Halaman Asli

Agung MSG

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Di Era Multi Disruptif, Karyawan Tak Lagi Jadi Aset Perusahaan?

Diperbarui: 1 Januari 2023   12:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi karyawan kantor. Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Karyawan itu, bukanlah aset. Pengertian aset yang saya tahu adalah penguasaan sumber daya yang dilegalisasi untuk dimanfaatkan dan diharapkan mendapat keuntungan ekonomi di masa depan. 

Aset juga bisa terjadi karena peristiwa masa lalu, transaksi atau pertukaran. Untuk mendapatkan aset, maka dikeluarkanlah biaya "pembelian", atau dibiayai untuk mendapatkannya melalui rekrutasi.

Aset sendiri adalah istilah, ungkapan, atau terminologi yang terlalu disederhanakan. Hanya fisik, tak ada jiwa. Hanya "sebuah hitungan", bukan "eksistensi dan kebermaknaan".

Lebih jauh, ada ahli yang menjelaskan bahwa aset itu bisa berbentuk aset tetap, maupun aset tidak tetap. Pada aset tetap, ada yang mengkategorikan sebagai aset tangible maupun intangible. Itu terasa akademistik, namun rasanya kurang realistik. 

Bagi saya pribadi, karyawan bukanlah aset. Karyawan adalah mitra sejajar dan strategis yang punya hati, minat, bakat, preferensi psikologis, potensi spiritual dengan segala potensi yang dimiliki oleh karyawan yang bersangkutan.

Jadi, pernyataan karyawan adalah aset, rasanya sebuah penyederhanaan berlebihan, dan cenderung angan-angan dan pemanis bibir saja di ruang publik. Di belakang itu, kita tak dapat menutup mata. Kualitas dan etos kerja karyawan yang baik, berkualifikasi, dan professional, itu susah didapat.

Tak sedikit orang-orang di departemen human capital dan bagian rekrutasi mengetahui benar dan jelas, bagaimana kondisi karyawan itu sekarang. Mereka punya tingkat kesulitan tersendiri untuk mendapatkan dan mempertahankan karyawan yang berkualifikasi, disiplin, kontributif, disiplin, loyalitas tinggi, tangguh, dan profesional.

Ungkapan karyawan adalah aset, seringkali saya temukan pada ucapan politisi di panggung publik. Atau pejabat yang sedang mencari dukungan atas kepemimpinan atau keberadaannya untuk menyenangkan karyawan-karyawannya. 

Bisa juga, itu timbul dari orang yang belum memahami bagaimana begitu rumit dan kompleksnya mengelola manusia dalam organisasi, dan tuntutan pekerjaan sesuai kontek di industrinya. 

Yang terjadi, seolah itu hanya lips service saja tanpa karya yang nyata, mengubah keadaan, dan dirasakan kebermanfaatannya oleh semua pihak secara benar, etik, dan berkeadilan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline