Lihat ke Halaman Asli

Januari Sore di Bawah Halte Siliwangi

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bruk !!! Bruk !!! Bruk !!!

Terburu-buru,langkah kakiku membelah genangan air di trotoar yang diguyur hujan mereda, bergegas menuju halte Trans Semarang untuk berteduh sembari menunggu armada jurusan Penggaron setelah aku turun dari bus yang membawaku dari Kalianda tiba di tempat aku harus turun, pintu tol Mangkang Semarang, karena memang aku harus melanjutkan perjalanan ke rumah budeku yang terletak di timur kota ini dengan ikut Trans Semarang, sebuah angkutan yang terintegrasi dengan tata kota dan bagiku hal terpenting dari sistemnya mengajari masyarakat untuk berbudaya tertib dengan menunggu angkutan umum di halte atau aku bisa memilih naik bus kota yang rata-rata sudah lusuh sedang tarifnya dua kali lipat lebih mahal daripada Trans Semarang, apalagi emisi yang

keluar dari knalpotnya diluar batas normal yang menyebabkan polusi dan menjadi masalah krusial ditiap kota besar di Indonesia, atau bahkan menjadi isu global dewasa ini, Global Warming!

Semarang mungkin bukanlah ibu kota propinsi yang secara kriteria pantas disebut kota metropolitan karena Semarang sendiri secara infrastruktur masih kalah jauh dibanding kota-kota besar lain di pulau Jawa, Angkutan umum yang terintegrasi seperti yang sudah di aplikasikan di negara tetangga, yaitu Malaysia,Thailand di Bangkok dan negara kota Singapur.

Seperti kutipan yang aku ingat dalam kata sambutan Habiburrahman El Sirozy di novel Ayat-Ayat Cinta yangboomingdan menjadi buku best sellerdi tahun 2003 dengan total income1,5 milyar rupiah dan digunakan si penulis mendirikan pesantren berorientasi kewirausahaan, sudah seharusnya komunitas di Semarang membuat nama kota ini dikenal dengan identitas yang ketika disebut Kata “Semarang” orang akan mengingat sesuatu hal positif. Misal menjadikan Semarang identik dengan nama-nama penulis sastra di era modern, sama halnya seperti Bandung yang terkenal dengan istilahParis Van Java-nya karena pusat mode tanah air atau Jogja yang terkenal dengan identitas kota pelajar, Bukan Semarang yang identik gersang, lalu lintas yang mulai semrawut karena kapasitas kendaraan yang mulai overload dari pada volume jalan itu sendiri.meski pada dasarnya masalah komplek kota-kota besar adalah carut marut transportasi, buruknya drainase dan tata ruang kota terindikasi sering dilanggar.

******

Jam di handphone yang aku lihat telah menunjukan lima belas menit semenjak aku berteduh di halte tapi bus yang aku tunggu tak jua datang, diantara keheningan diriku ditengah raungan lalu lintas kota itu mataku terpaku diujung atap halte mengawasi butiran air yang jatuh disetiap ujungnya karena setelah delapan tahun aku tak mengunjungi ini, kedatanganku disambut gerimis.

Lamunanku buyar setelah seorang anak kecil dengan mamanya dengan baju potongan seperti baju muslimah warna hitam dengan payet border disekitar kancing dengan motif timur tengah dengan kerudung hitam dengan bawahan jeansskinnywarna biru yang baru saja turun dari bus antar kota berniat menuju halte dimana aku terduduk sedari tadi, kualihkan pandanganku menyapu suasana sekitar, memperhatikan seorang ibu paruh baya, penjual kaki lima yang menggunakan bahu trotoar menjadi warung semi permanen di sebelah halte menunggu pembeli. Terlihat guratan beban hidup yang begitu berat menghimpit jika setiap orang bisa membaca kerutan wajahnya yang mulai nampak keriput dimakan usia.

“Danangggggg !!”. Sapa perempuan dengan anak kecil yang baru saja turun dari bus luar kota tadi, sedikit memicingkan mata dengan penuh penasaran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline