Lihat ke Halaman Asli

Maruarar yang Beraksi, Presiden Jokowi yang Kena "Bully"

Diperbarui: 21 Februari 2018   18:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Kompas.com

Pagi ini saya membaca status teman di media sosial yang membuat saya kepo. Teman tersebut menuliskan status kira-kira begini: "Kasihan admin fan page Pak Jokowi. Capek deletin komen." Saya pun jadi kepo dan meluncur ke fan page Presiden Jokowi. Setelah scroll ke bawah, saya jadi paham apa yang dimaksud oleh teman.

Status tersebut sepertinya mengacu pada status yang diunggah admin fan page Jokowi mengenai final Piala Presiden yang diunggah pada 18 Februari 2018. Komen yang ditulis oleh para follower justru komen yang bernada negatif. Sesuatu yang tidak diinginkan sama sekali oleh admin sebuah fan page---saya tahu karena pernah menjadi admin sebuah brandfarmasi dan sempat mendapat serangan dari "follower"---aslinya sih haters.

Terus terang saya tidak membaca satu persatu komentar, karena memerlukan seharian untuk membacanya. Saat membaca jumlah komen, sudah ada lebih dari 100 ribu komen. Bahkan beberapa komen berujar seperti ini, "Admin kalo capek istirahat dulu hapus komennya." Menurut dugaan saya, ada komen tidak pantas yang dihapus oleh admin.

Dari komen-komen yang saya baca sebenarnya bukan berisi hujatan kepada Presiden Jokowi sih---entah kalau ada yang menghujat dan dihapus admin. Komen-komen yang ada lebih pada guyon atau satir mengenai pelarangan Anies Baswedan turun ke podium. Banyak komen juga memberi selamat kepada Anies atas prestasi Persija---sebenarnya tidak ada hubungan langsung sih prestasi Persija dengan Gubernur DKI Jakarta.

Kembali ke persoalan komen negatif yang jumlahnya sangat banyak di fan page Presiden Jokowi, sebenarnya hal tersebut bukan salah Jokowi. Kesalahan terbesar sepertinya ada di pundak Maruarar Sirait. Saya yang sudah malas mengikuti perdebatan haters-lovers tokoh politik saja langsung paham ketika melihat foto dan video penyetopan Anies oleh anggota Paspampres.

BLUNDER! Tidak ada kata yang tepat selain kata itu. Dilihat dari kacamata kebijakan publik---sepakbola adalah konsumsi publik---keputusan untuk melarang Anies jelas salah besar. Saya tidak tahu apa alasan pelarangan tersebut. Momen Piala Presiden yang seharusnya meredakan ketegangan anak bangsa akibat pandangan politik justru menjadi penyulutnya.

Pak Jokowi dan Anies Baswedan sudah berkomunikasi sangat baik sepanjang pertandingan. Bukan komunikasi verbal yang saya maksud, tapi komunikasi bahasa tubuh. Foto-foto yang beredar saat Pak Presiden dan Pak Gubernur bersalam komando setelah Persija mencetak gol, diikuti dengan senyum sumringah adalah momen penyatu yang sangat baik dan bisa menjadi pengobat luka bagi pembenci Jokowi maupun Anies---tentu pembenci yang masih punya pikiran positif.

Sayang momen luar biasa tersebut hancur berantakan dalam hitungan detik. Meme saat Ridwan Kamil, Ahmad Heryawan, dan Basuki Tjahaya Purnama turun ke podium Piala Presiden 2015 pun berhamburan. Netizen membandingkan saat Persib juara dan gubernur DKI Jakarta, gubernur Jawa Barat, bahkan walikota Bandung pun bisa turun ke podium. Keriuhan di jagat media sosial pun meledak.

Anak polah bapak kepradah. Pepatah Jawa ini paling pas untuk menggambarkan efek negatif yang diterima Jokowi dalam final Piala Presiden. Maruarar Sirait yang menjadi Ketua Steering Committee---kabarnya yang mencoret nama Anies---yang berbuat, Pak Jokowi yang dihujat. Maruarar yang beraksi, Pak Jokowi yang di-bully. Saya benar-benar tidak paham dengan pemikiran Marurar Sirait. Apakah dia memang sengaja mencari popularitas pada momen ini? Bila ya, cara yang dilakukannya jelas salah besar.

Menjadi seorang politisi dan tokoh publik sudah seharusnya memahami psikologi publik. Sayang hal tersebut tidak dilakukan Bang Ara. Dia malah menggunakan logika pribadi dan mengabaikan logika publik. Meskipun bukan acara kenegaraan, jelas Piala Presiden adalah konsumsi publik dan sudah menjadi bagian dari kebijakan publik.

Bila menilik dari teori kebijakan publik, aktor kebijakan publik itu bukan hanya aktor formal seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tapi ada juga aktor informal seperti media, partai politik, konsultan politik, dan lainnya. Ara yang menjadi anggota DPR seharusnya paham hal ini. Sebagai pejabat dan tokoh publik, dia seharusnya paham bahwa kebijakan publik itu harus diputuskan dengan bijak. Tidak sekadar berpikir protokoler atau salah benar semata, tapi juga harus memikirkan dampak dari keputusan, tindakan, dan ucapannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline