Lihat ke Halaman Asli

Jogja adalah Romansa

Diperbarui: 8 Oktober 2015   08:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto @ yadi tjon"][/caption]

Pertengahan 1995. Itulah tahun pertama saya tinggal (semi) permanen di Jogja. Saya ingat, pertama kos di Jogja di daerah Blunyah Gede, tak jauh dari sekolah saya, SMA Muhammadiyah I, biasa disingkat MUHI. Kalo teman-teman di kampung saya biasa memlesetkannya menjadi Kamandiyah. Saya tak tahu dari mana awalnya pleseten tersebut. Ketika ditanya sekolah di mana, teman-teman yang sekolah di Muhammadiyah akan menjawab: Kamandiyah.

Kos pertama saya letaknya ada di seberang AAN Notokusumo. Hanya sak plintengan, kalau orang Jawa bilang, dari akademi administrasi tersebut. Menempati ruang di ujung belakang, saya membayar sewa selama enam bulan di kos tersebut. Biaya sewa perbulan waktu itu 33 ribu, jadi saya membayar 198 ribu untuk kos setengah tahun. Ruangnya standar ukuran, sekitar 3x3 meter dan motor harus masuk ke kamar, karena tidak tersedia garasi. Awal-awal kos, saya dipinjami motor oleh kakak yang kuliah di STIE Widya Wiwaha. Tapi untuk mobilitas selama Geta (gema ta’aruf alias ospek). Namanya harus Islami dong, Kamandiyah.

Selepas Geta, ya kemana-mana saya harus jalan kaki atau naik angkot. Kalau sekolah pasti jalan kaki, karena jaraknya hanya sekitar 2-3 km saja. Untuk bepergian kalau tak terlalu jauh ya jalan, kalau agak jauh ya kombinasi jalan dan naik bis kota. Ini bukan urusan hidup sehat, tapi urusan hidup hemat. Misalnya saja kalo pas pengen ke Malioboro, saya biasanya berangkat naik bisa kota, pulang jalan santai menyusuri Jl. Mangkubumi, AM Sangaji. Itu demi ngirit ongkos, bukan motivasi biar langsing. Wong dulu saya sudah kurus kok.

Oh ya, ngomong-ngomong soal Geta alias ospek, Aula sekolah adalah tempat paling saya ingat di sekolah. Selain tempat ini banyak digunakan sebagai tempat kegiatan, ada kejadian-kejadian mengejutkan. Kejadian pertama adalah ketika didatangi teman baru. Orangnya gemuk, putih, dengan pembawaan tenang. Awalnya ngobrol biasa, tentang asal dari mana. Kos di mana. Di ujung pembicaraan, teman yang asli Jogja tersebut berkata:

“Kowe doyan hing ora?”

“Heh, hing ki opo?” tanya saya dengan polos, karena waktu itu saya belum menguasai bahasa walikan.  

“Benik.”

“Aku wis duwe benik akeh,” kataku tetap dengan polos. Dan teman tersebut akhirnya ngeloyor hahahaha. Hing atau benik ternyata istilah untuk menyebut pil koplo. Untuk waktu itu saya masih alim—sekarang pun juga masih alim sih.

Selain urusan hing alias pil koplo. Saya pernah menjadi peserta terakhir yang meninggalkan aula. Tunggu jangan buruk sangka dulu. Saya jadi peserta terakhir bukan karena dihukum. Seperti saya bilang saya anak alim. Jadi waktu itu ada acara renungan. Biasalah baca puisi melo gitu. Seingat saya cewek-cewek pada nangis. Nah itu renungan lama banget. Jadi nangisnya juga pada lama.

Setelah acara selesai, peserta disuruh kembali ke kelas masing-masing. Nah, pas saya mau berdiri, kaki saya seolah lalu. Lumpuh. Ternyata saya kesemutan dahsyat. Melihat saya gak bisa berdiri, pasukan keamanan mendekat. Sempat jiper juga sih. Ternyata mereka membantu saya untuk menyembuhkan kesemutan. Dari situ saya jadi tahu cara menyembuhkan kesemutan. Luruskan kaki dalam posisi selonjoran, ujung jari-jari ditekuk ke dalam ke arah dengkul. Lumayan efektif untuk menyembuhkan kram juga. Dua kejadian di atas dalah kejadian di Aula yang tak terlupakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline