[caption id="attachment_264287" align="aligncenter" width="300" caption="Hidayah"][/caption] Seperti air yang terus mengalir, begitupun dengan alunan langkah sepatuku, setapak demi setapak langkahnya terus mendekati akhir. Sungguhpun aku ingin berhenti sesaat, menikmati sejuknya udara di lembah itu ataupun derasnya hembusan angin di puncak bukit Kintamani. Sungguhpun aku masih ingin bersalaman dengan sesanak saudara yang datang, tapi langkah ini enggan untuk berhenti. Langkah ini seperti terus menarikku menuju titian panjang, dua dunia yang terpisah.
Aku….
Tanggal 16 ramadhan pemuda itu datang lagi padaku. Seperti pada kedatangannya yang telah lalu, selalu dia bertanya tentang apa yang dirasanya aneh dari lakuku. Dia selalu protes dengan aktifitasku yang berlebih. Dan nasehat-nasehatnya tentang ini-itu. Tapi bukan itu yang menyentuh ulu hatiku. Sebuah tanya di akhir pertemuan itu, “Kenapa saat menjelang subuh, aku selalu mengitari masjid ini 17 kali?”
Aku tidak ingat lagi bagaimana semua bermula. Yang aku ingat hanyalah saat aku mengawali ritualku, usiaku sudah menginjak 34 tahun. Usia dimana harusnya hati ini sudah matang dan mantap hidup dengan 1 istri serta minimal 1 anak yang menemani hari-hariku, meniti indahnya kebersamaan. “kemana saja aku selama ini, hingga tersesat dari hakikat hidupku sebagai insan kamil ciptaan sang Khalik?” Itulah tanya yang mengawali ritualku saat itu.
Aku? Tidak perlu lagi kusebut untuk apa dan siapa aku melakukan kesia-siaan sebelum itu. Aku hanya sibuk mengejar harta, menumpuk pujian agar aku dianggap orang yang sukses. Hasilnya? Nonsense. Aku tidak mendapatkan apa-apa. Aku membuang waktuku hanya untuk itu semua, karena apa yang kudapat hanya membawa langkah ini pada gerbang kesesatan.
Sesat? Ya, selama itu kesesatan seperti tongkat di tangan kananku, menuntun buta hatiku menuju jalan yang semakin kelam. Meski hanya menyusuri lorong-lorong lokalisasi, meski hanya menikmati sensasi getar dua bibir bersinggungan mesra ataupun petikan jemari di antara rerumputan liarku, aku pernah terseret dalamnya. Kaki tiada terjaga untuk selalu meniti jembatan ke rumah Allah. Mata bukannya menikmati indahnya kalam Illahi, tapi aku gunakan untuk menikmati jambangan kelam gambar bergerak dan lukisan kusam sepasang insan tanpa make up. Bibir yang harusnya meresonansikan ayat-ayat suci malah menyanyikan caci-maki menyakitkan hati. Jemari yang harusnya kugunakan membuka lembar-lembar kalam suci, malah mengetik status dan komentar tidak sepantasnya. Tangan yang harusnya tengadah memohon ampunan-Nya, selalu menggenggam botol-botol minuman haram. Aku memang sesat.
Tujuh belas tahun. Sweet seventeen bagi kebanyakan remaja masa kini. Titik dimana seorang remaja merasa dirinya selangkah mendekati ranah dewasa. Titik dimana diri merasa bebas seperti seekor merak yang tiba-tiba bisa terbang, hingga bisa pergi kemana saja, seperti itulah aku di masa itu. Aku merasa bebas berbuat apa saja, bebas berekspresi. Di titik itu aku pertama mengenal cerita detektif berbumbu asmara tanpa ikatan. Di titik itu ketidakpantasan menjadi tuntunanku. Di titik itulah aku pertama terjerumus.
Tujuh belas seperti angka favorit bagiku. Selama 17 tahun aku menikmati kepekatan. Aku terus berendam dan membasahi jiwa-raga ini dengan kesesatan. Bilur-bilurnya meresapi pori-poriku, hingga menembusai relung hatiku. Bisik setan hanya pertama saja kudengarkan, sesudahnya nalurikulah yang menuntun langkah ini. Ajaran dan teguran yang Allah kirim melalui sahabat serta kesialan yang menimpa, hanya datangkan serapah. Semua seperti indah dalam balutan kesesatan dan sensasi pujian sejawat, meski hanya sesaat.
Tujuh belas seperti Allah ciptakan untuk menjadi pengingatku. Rentang tujuh belas tahun kedua akhirnya tersibak. Tujuh belas tahun ketiga, buka semuanya. Tanpa sengaja aku mendengar kutbah jum’at. Ya, meski terkungkung kesesatan, sholat jum’at masih aku lakukan. Meski tidak rutin, aku selalu melaksanakannya. Saat itu, jum’at ketiga bulan rajab dan tepat di tanggal 17 aku mendengar khutbah tentang orang-orang yang merugi. Surat Al-Ashr membuatku menangis, hati ini seperti teriris menyadari begitu banyaknya waktu yang terbuang. Ya aku membuang waktuku.
Seperti sebuah bola yang kembali membentur punggung sepatu seorang striker, aku tersadar. Titik itu seperti tugu nol kilometerku yang baru. Setitik demi setitik aku melaju menuju gawang, memperbaiki arah yang selama ini tiada menentu. Deras hembusan angin, kuatnya kaki yang berusaha menahan, ataupun terkaman jemari sang kiper tak mempu menahanku. Gawang adalah tujuanku berikutnya, memperbaiki hidup yang terlanjur berantakan. Bloking kaki pemain lawan dan juga terkaman jemari sang penjaga gawang, seperti godaan setan yang ingin menahan lajuku.
“Tujuh belas kali aku mengitari masjid, itu hanyalah ritual.” Jawabku kala itu.
Dia masih penasaran. Cecar tanyanya seperti muntahan peluru senapan serbu, saat aku tak jua menjawabnya. Tanyanya terus menyapaku tiada berhenti, hingga jawabku buat dahaga hatinya terpuaskan.
“Tujuh belas adalah jumlah rakaat shalat fardhu dalam sehari. Tujuh belas, tanggal dimana Ayat pertama Al-Qur’an turun. Tujuh belas adalah gabungan angka 1 dan 7. Saat kita tawaf, tujuh kali kita berputar melawan arah jarum jam, dengan 1 titik sebagai pusat putaran kita. Titik itu adalah Ka’bah. Itu alasan kenapa aku selalu beritual mengitari masjid 17 kali menjelang subuh, berolahraga sekaligus mengingatkan diri tentang semangat angka 17 itu.” Lanjutku kala itu.
Dia terdiam. Kerut dahinya, gambaran kerasnya usaha dia mencerna kalimat-kalimat yang baru didengar. Di usia yang ke-27, dia terlihat dewasa. Garis wajahnya kokoh seperti Ayahnya yang telah tiada 18 tahun lalu. Sorot matanya, seperti tatap mata gadis Baliku dulu, tajam menghunjam hati ini.
“Aku rindu kau gadis Baliku” lembut suara mengalir dari bibirku kala itu.
Matanya menatapku lagi. Ada raut sedih tergambar di wajahnya. Dia tahu kisah gadis Baliku. Dia tahu sosok yang selama ini kupuja. Dia tahu seperti apa rupanya meski tiada pernah bertatap muka. Gambaran yang terukir di ingatannya sekuat ingatan di kepalaku ini, karena aku selalu mengukirkan kisah itu di padaanya. Dia tahu seperti apa cinta yang selalu kupujakan, hingga tiada lagi sosok wanita penggantinya di sisa hidupku.
“Nak!... Andai bisa, aku ingin memanjangkan waktu subuhku esok. Aku ingin bersujud selama mungkin. Aku ingin memohon ampunan atas malam yang selalu aku sia-siakan. Aku ingin haturkan rasa terima kasihku untuk-Nya atas semua yang dia beri, terutama gadis Baliku yang terindah. Dialah anugerah terindah setelah nikmat Iman yang Allah beri, bersamanya aku selalu berusaha untuk lebih baik, bersamanya aku merasakan kesempurnaan hidup.”
_ _ _
Aroma stanggi dan melati kembali mewangi, menyapa bulu-bulu halus penciumanku. Di ujung sana, sosok gadis Baliku bersimpuh. Kerudung biru kesukaannya anggun menutupi kepala. Lembut suara dzikir dan tahmid mengalun, merindingkan bulu romaku.
“Aku rindu…”
Ingatanku kembali, kenangan awal jumpa itu masih membekas. Saat itu, 17 agustus aku melihatnya di Pura Agung Uluwatu. Matanya terpejam. Bibirnya yang merekah terus bergetar, memuja mantrakan syukur pada Sang Pencipta. Sebuah dupa menyala terapit jemarinya yang melentik. Setangkai melati putih indah menghiasi daun telinganya. Aku terpukau dibuatnya. Kebaya putihnya erat melekat di tubuhnya.
Lama kulelap Pada wanginya masih tersesap Lupa langkah tak boleh mengendap Pada cerita taklagi bersayap
Lama kuterlupa Dupa dewata hilir mudik bersama puja Agungkan asa tiada terpatah Walau kaki terrantai lelah
Kini.... Serinai tatap berseri datangi lagi Bidadari sunyi tautan imaji Serongga rasa yang tersisa di hati Berharap takdir suci tautan abadi
http://agunghariyadi37.blogspot.com/2013/08/kembali-bermimpi.html#more
“Syair rinduku kembali bernyanyi.” Gumamku pelan. Puisi yang kucipta untuknya masih terpatri di hati.
Aku tersadar dari lelapku yang sejenak, lamat suara adzan subuh datang menyapa, sadarkan aku untuk segera melangkah, tinggalkan mimpi yang baru saja berlalu. Tertatih langkah serasa semakin berat, seperti kedua kaki ini terikat. Siluet wajah gadis Baliku menebal dalam benak, dendangkan rinduku yang memekat.
Tubuh ini lelah sekali. Tiada biasa aku tertidur lagi. Delapan rakaat di ujung malam ditambah 3 witir adalah kenikmatan yang selalu kunanti. Bermunajat dan mendekatkan diri, memohon ampunan atas khilaf diri. Tujuh belas anak sungai yang bermuara di lima telaga, serasa masih kurang untukku mensucikan diri. Aku ingin berkumur, mengusap mata dan seluruh tubuh ini dengan dua puluh tujuh sumber air di kaki bukit itu.
“Ya Allah, jika langkah semakin dekat, ijinkan aku untuk tidak kembali tersesat. Jadikan akhir langkahku suatu yang manfaat.”
_ _ _
[caption id="attachment_264289" align="aligncenter" width="300" caption="https://sphotos-b-ord.xx.fbcdn.net/hphotos-ash3/p480x480/599591_549278511802411_724642816_n.jpg"]
[/caption] Matahari perlahan memanjat naik. Sinarnya sesekali tersembunyi di balik mega. Udara yang bergerak perlahan sejuk menyapa ratusan jama’ah yang datang menghantarkannya ke peristirahatan panjangnya. Prosesi pemakaman baru saja usai. Satu persatu pelayat yang menghantar kepergian sosok sepuh itu berlalu, meninggalkan gundukan tanah merah bermandi bunga dan siraman air do’a.
“Raffa… Arya, kakekmu adalah sosok yang baik. Beliau meninggalkan kita dalam keadaan terbaik. Beliau meninggal saat sujud terakhir di waktu berjamaah subuh. Di usianya ke-89, beliau jarang sakit, selain flu ringan. Jika mengingat siapa beliau dulu, aku merasa iri dengan yang beliau dapatkan. Kematian yang mulia di mata-Nya. Tabahkan hatimu. Do’akan kakekmu, agar dosa-dosanya diampuni, dilapangkan makamnya dan dijauhkan dari siksa kubur.” Ustadz Azhar Abu Ghifari memegang pundak Raffael Hariyadi.
“Sesudah jamaah Isya’ semalam, Kakekmu menitipkan ini padaku. Beliau memintaku menyerahkan ini.” Ustadz Azhar menyerahkan amplop biru pada Raffael.
Raffael memandang amplop biru, matanya berkaca-kaca. Ingatannya kembali mengalir pada sosok sang nenek. Sosok yang hanya dia tahu dari foto-foto yang tersisa. Setiap kali berfoto bersama kakeknya, wanita berdarah Bali itu selalu berkerudung biru. Kerudung yang kemarin dilihatnya di tangan sang kakek, saat dia menanyakan makna ritual yang biasa dia lakukan menjelang subuh.
“Kamipun kehilangan sosok beliau. Ritualnya di pagi buta, awalnya seperti sebuah kesia-siaan tapi membuat masjid tetap terjaga. Bahkan di usianya yang tidak muda lagi, beliau masih ingat detail sudutnya, bagian mana yang perlu perhatian dan perbaikan segera. Masjid seperti rumahnya, 24 jam selalu bersih terjaga. Berbanggalah, seperti kami bangga mendapat tauladan darinya.”
Denpasar. 28 Agustus 2013
Agung Masopu
Repost dari Blogku http://agunghariyadi37.blogspot.com/2013/08/17-keramat-terindah.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H