"Childfree dan Childless dalam Perspektif Istishab dan Kontribusinya terhadap Pembaharuan Hukum Islam" dua konsep yang sedang berkembang dalam masyarakat modern.
Isu mengenai keputusan untuk tidak memiliki anak, baik yang disebut childfree (sengaja tidak memiliki anak) maupun childless (tidak memiliki anak karena faktor biologis atau medis), semakin menjadi perhatian di masyarakat. Keputusan ini sering kali dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, psikologis, dan budaya. Dalam beberapa kasus, individu atau pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak, menghadapi stigma sosial atau bahkan tekanan dari lingkungan sekitar. Namun, seiring dengan berkembangnya kesadaran akan hak-hak individu, pilihan untuk menjadi childfree menjadi lebih diterima dalam masyarakat modern. Dalam perspektif hukum Islam, memiliki anak dalam pernikahan sering dianggap sebagai suatu kewajiban atau harapan. Beberapa ajaran Islam mengatur mengenai hak dan kewajiban suami istri dalam hal keturunan, dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam al-Qur'an dan Hadis.
Secara etimologis, childfree berarti " having no childfren; childless, especially by choice." childfree mengacu pada orang yang secara sengaja memilih untuk tidak memiliki anak atau pada kondisi atau tempat yang bebas dari kehadiran anak-anak. Makna ini menyoroti bahwa keputusan untuk tidak memiliki anak bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja, melainkan hasil dari pilihan yang dibuat secara sadar oleh individu atau pasangan. Pilihan ini menunjukkan preferensi gaya hidup tertentu, di mana mereka memilih untuk menjalani kehidupan tanpa keturunan sebagai bagian dari nilai atau pandangan hidup yang mereka pegang. Dengan kata lain, istilah ini digunakan untuk menggambarkan keputusan sadar individu atau pasangan untuk tidak berketurunan, yang membedakannya dari istilah childless, yang lebih sering dipakai untuk menggambarkan keadaan tanpa anak akibat faktor di luar kehendak atau kendali seseorang.
Sepanjang abad ke-20 dan ke-21, kita masih dapat melihat sisa-sisa sikap mendalam ini. Dalam banyak masyarakat, sosok ibu memiliki posisi sentral karena ia mewakili rasa aman, kesinambungan, pengorbanan, dan cinta tanpa syarat. Memiliki anak dianggap sebagai elemen penting dalam menjaga keharmonisan dan keteraturan sosial. Tidak memiliki anak bisa menjadi stigma yang menimbulkan banyak masalah, tidak hanya bagi pasangan dan hubungan pernikahan mereka tetapi juga bagi citra sosial mereka. Oleh karena itu, sejak zaman dulu, orang-orang mencoba mencari cara alternatif untuk menghindari dampak negatif dari tidak memiliki anak. Berdasarkan analisis di atas, perbedaan mendasar antara childfree dan childlessness dapat dijelaskan dari segi pilihan, kondisi, dan dampaknya pada konteks sosial.
Childfree merujuk pada keputusan sukarela dan disadari oleh individu atau pasangan untuk tidak memiliki anak, meskipun secara fisik mereka mampu. Ini merupakan pilihan yang sering didasarkan pada pertimbangan gaya hidup, filosofi hidup, nilai-nilai personal, dan kebebasan pribadi.
Childlessness, di sisi lain, mengacu pada kondisi tidak memiliki anak yang sering kali terjadi bukan karena pilihan, tetapi karena ketidakmampuan biologis atau medis. Di sini, ketidakberadaan anak dianggap tidak disengaja dan bukan keputusan yang diambil secara sukarela
Individu yang childfree biasanya memiliki pandangan yang lebih terencana dan berfokus pada kehidupan bebas anak sebagai gaya hidup yang mereka pilih. Meski menghadapi stigma sosial, mereka cenderung merasa mantap dengan keputusannya dan sering kali memiliki jaringan pendukung yang membentuk komunitas childfree
Sebaliknya, mereka yang mengalami childlessness seringkali menghadapi dampak emosional lebih dalam, terutama karena ketidakmampuan ini dianggap sebagai "kekurangan" atau "kegagalan" oleh masyarakat. Stigma sosial terhadap ketidakmampuan memiliki anak bahkan berakar jauh ke masa lalu, memperlihatkan adanya penilaian negatif yang tetap ada dalam banyak budaya hingga saat ini
Secara teologis, kehadiran anak dalam sebuah keluarga memiliki nilai yang signifikan dalam ajaran Islam. Ketika pasangan menikah, salah satu tujuan yang diharapkan adalah untuk memperoleh keturunan yang akan melanjutkan nilai-nilai agama dan moral dalam keluarga. Tujuan utama pernikahan adalah untuk mencapai sakinah. Dalam keluarga yang sakinah, pasangan suami istri perlu menjalankan fungsi-fungsi keluarga, termasuk fungsi reproduksi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa memiliki anak dapat mendukung terciptanya ketenangan dalam rumah tangga, karena memungkinkan pasangan untuk menjalankan fungsi keluarga dengan utuh. Rahmah sebagai bentuk kasih sayang terhadap yang lemah, yaitu kasih sayang kepada anak saat masih kecil dan kepada orang tua ketika sudah lanjut usia.
Konsep Istishab (asumsi kelanjutan status hukum yang ada) dapat diterapkan untuk memahami berbagai aspek hukum Islam terkait dengan isu kehadiran anak dalam kehidupan pasangan suami istri. Konsep 'Childfree' (kesengajaan memilih untuk tidak memiliki anak) dan 'Childless' (ketidakmampuan atau ketidakberuntungan untuk memiliki anak), serta implikasi sosial, emosional, dan hukum yang timbul dari keduanya.
Prinsip Istishab menegaskan pentingnya mempertahankan status hukum yang sudah ada, kecuali ada bukti yang jelas untuk mengubahnya. Dalam konteks pernikahan dan anak, ini berarti bahwa dalam keadaan tertentu, status hukum pernikahan yang tidak menghasilkan anak dapat tetap dipertahankan, asalkan tidak ada indikasi yang jelas untuk perubahan, seperti ketidakmampuan medis atau alasan lainnya yang sah menurut hukum Islam. Selain itu, keputusan mengenai memiliki anak atau tidak, baik dalam konteks Childfree maupun Childless, diakui sebagai hak individu dan pasangan, meskipun masih terikat dengan pandangan sosial dan agama yang mengutamakan peran reproduksi dalam pernikahan. Istishab bisa menjadi prinsip penting dalam mempertimbangkan perubahan status keluarga terkait keturunan dalam konteks hukum Islam, dengan mempertimbangkan bukti dan kondisi medis yang relevan.