Lihat ke Halaman Asli

Pengelolaan Kelas di Kelas Ternakal

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pada pertemuan kelima mata kuliah Strategi Belajar Mengajar (SBM), materi yang akan disampaikan tentang pengelolaan kelas. Saya memberikan apersepsi yaitu sebuah cerita tentang empat puluh menit di kelas ternakal – strategi diskusi.
Telepon seluler saya berdering. Ternyata, Direktur sekolah Al-Khairiyah Surabaya meminta saya untuk dapat mengajar di jenjang SMP, tepatnya di kelas VIII B. Dia mengatakan, "Agar sekali dayung, tiga empat pulau terlampaui. Pak Munif mengajar dengan strategi multiple intelligences, para guru nanti mengobservasi. Setelah itu, dibahas bersama dalam pelatihan guru." Demikian katanya dan saya menyetujui dengan senang hati.
Namun, keringat dingin menjalar ketika saya tanya mengapa harus SMP Kelas VIII B? "Itu kelas paling nakal, siswanya tidak bisa diatur. Hampir semua guru kewalahan mengajar di kelas itu. siswanya tidak menghargai guru, membuat 'geregetan' guru, dan akhirnya semangat guru menurun kala harus mengajar di kelas tersebut. Cobalah untuk mengajar di kelas itu dengan tema 'menghormati guru'," jawab sang direktur sekolah.
Saya cuma bisa menelan ludah, membayangkan harus mengajar dengan tema menghormati guru di kelas yang semua siswanya paling tidak mau menghormati guru. Tak sabar menunggu waktu Subuh, akhirnya saya mulai membuat lesson plan.
Tepat pukul 08.00, saya sudah berada di sekolah. Setibanya di sekolah, saya ditemani kepala sekolah dan terus mendapatkan informasi "mengerikan" tentang kondisi siswa di kelas tersebut. "Kami, para guru, sudah habis-habisan, namun hasilnya masih tidak seberapa. Kami tidak tahu dengan cara apa lagi," keluh kepala sekolah. Beberapa guru yang juga menyertai, lalu mengucapkan beberapa nama yang termasuk "biang kerok" kelas tersebut.
Setelah menaiki tangga lantai dua, akhirnya saya tepat berdiri di depan pintu kelas "panas" tersebut. Dengan mengucapkan bismillah, saya masuk kelas sembari membuang semua gambaran negatif tentang siswa di kelas itu. Saya membayangkan: semua siswanya baik dan dapat diajak kerja sama; tidak ada siswa yang nakai dan kurang ajar, serta semua siswa tersebut pasti akan mau menjadi sahabat saya; mereka mau dengan rela mengikuti pelajaran, sehingga target materi tuntas. Saya melakukan positive thinking di depan kelas tersebut.
Dan benar, di depan kelas, saya menatap wajah mereka satu per satu. Luar biasa, saya melihat wajah-wajah siswa yang haus akan ilmu pengetahuan. Wajah-wajah yang haus sentuhan pengajaran manusiawi. Saya memperkenalkan diri dan meminta semua siswa juga mengenalkan diri masing-masing.
"Saya ingin, kalian tidak hanya sekadar menyebutkan nama, tapi juga teriakkan satu kata profesi yang kalian inginkan kelak. Yang dengan profesi itu, kalian berharap menjadi manusia sukses, seperti harapan orangtua kalian. Ayo, teriakkan sebuah profesi, meskipun itu hanya di alam mimpi, jangan malu!" ajak saya dengan antusias.
Lalu, satu per satu mereka berdiri, menyebutkan nama dan profesi. "Saya Nasyirudin, ingin jadi pembalap moto-cross."
Ada enam siswa yang ingin menjadi pemain bola profesional. Saya langsung mendoakan mereka, "Semoga Piala Dunia 2018 nanti, kalian semua menjadi pemain yang membawa harum nama Indonesia di Piala Dunia." Serentak mereka menjawab, "Amiiinnnn!"
Wow, alhamdulillah! Saat itu, saya merasa di menit-menit awal sudah berhasil mengambil hati anak-anak "unik" ini. Saya tambah bersemangat menggilir siswa¬siswa tersebut tenggelam dalam profesi masa depannya. "Aku ingin jadi dokter" '"Aku ingin jadi penulis", dan lain-lain. Akhirnya, tidak ada satu pun siswa yang diam. Satu hal yang penting, anak-anak yang dikatakan "nakal" ini ternyata punya mimpi dan punya harapan, berarti mereka punya motivasi untuk belajar..
Lalu, saya melakukan pre-teach, dengan mengatakan, "Adik-Adik, tiga puluh menit ke depan, kita akan berdiskusi. Untuk itu, saya membutuhkan seorang notulis dan moderator. Kalian akan dibagi menjadi empat kelompok, terserah terbagi atas dasar apa, pokoknya ada unsur persamaannya. Saya sendiri sebagai moderator, sedangkan untuk notulis, saya minta salah satu dari kalian yang tulisannya bagus."
Langsung Nasyirudin angkat tangan, dia siap menjadi notulis. Saya meminta seisi kelas memberi tepuk tangan kepada Nasyirudin.
"Nasyirudin, keberhasilan pelajaran ini tujuh puluh lima persen bergantung pada kelihaian kamu merangkum proses dan hasil diskusi ini," saya menegaskan.
"Siap, Pak Munif!" jawab Nasyirudin dengan semangat sembari menyiapkan buku tulis dan pulpennya.
"Hanya sepuluh detik, waktu kalian hanya sepuluh detik untuk membentuk empat kelompok. Satu, dua, tiga,!" perintah saya setengah berteriak, maklum sudah kadung terbakar.
Seketika, kelas menjadi ribut dan, subhanallah, tepat sepuluh detik, mereka sudah terbagi menjadi empat kelompok dengan empat nama yang dibuat oleh mereka sendiri. Saya tambah yakin, kehadiran saya benar-benar diterima oleh mereka.
Selanjutnya, saya meminta setiap siswa membuka halaman kosong di buku tulis masing-masing. Lalu, saya minta mereka menuliskan satu nama guru mereka, yang selama ini dianggap negatif: guru tersebut tidak menyenangkan, sering menyakitkan hati, atau hal lain, pokoknya yang negatif. "Tulis satu nama guru kalian tepat di tengah kertas. Lalu, di sampingnya beri tanda tanya besar, kemudian tutup buku kalian. Nanti, di akhir pelajaran, kita akan buka kembali," kata saya.
Mereka berpikir sejenak. Ada yang tersenyum, saling menoleh kepada teman¬temannya. Ada yang geleng-gelang kepala. Saya merasakan ada penghalang dan saya tahu itu. Mereka tidak enak kepada guru mereka yang sedang duduk di belakang kelas. Langsung saya berkata, "Adik-Adik, jika guru tersebut ada di belakang kita, tidak apa-apa. Tulis saja, lalu tutup. Tidak akan pernah ada yang tahu."
Rupanya, kata-kata saya menjadi penenang bagi para siswa. Tak lama kemudian, mereka semua selesai menulis satu nama guru di buku masing-masing, meskipun menuliskannya dengan berat hati.
Saya memulai diskusi dengan melemparkan sebuah masalah kepada semua kelompok. Masalahnya tentang penyebab kebanyakan siswa yang tidak suka kepada guru sehingga mereka tidak menghormati guru, "Apa saja penyebabnya?" tanya saya. "Waktu kalian hanya lima menit, diskusikan apa saja penyebabnya. Lalu, wakil per kelompok maju untuk presentasi."
Luar biasa, belum lima menit, mereka sudah dapat menyelesaikan masalah pertama. Yang membuat saya dan teman-teman guru terhenyak adalah presentasi setiap kelompok.
"Yang membuat guru tidak menyenangkan adalah sering memerintahkan untuk mencatat terus sampai tangan saya capai."
"Sering marah tanpa ada sebab!"
"Tidak boleh ke toilet!"
"Cerewet!"
"Sering memberi tugas berat!"
"Kalau ada siswa berkelahi, malah diadukan!"
Saya tahu, suasana kelas tiba-tiba menjadi tegang. Betapa tidak, di belakang terdapat guru-guru mereka. Kelas tersebut telah menjadi ajang curahan hati para siswa. Untuk mencairkan suasana, saya meminta semuanya bertepuk tangan. Masalah pertama telah selesai dan si notulis dengan giat terus menuliskannya.
Kemudian, saya menantang mereka dengan masalah kedua. "Coba diskusikan lagi masalah kedua. Apa yang harus kalian usulkan kepada para guru agar masalah pertama tidak terjadi, sehingga hubungan antara siswa dan guru menjadi harmonis?"
Kembali kelas ramai berdiskusi dan mereka kembali melakukan presentasi yang luar biasa. Perhatikan, apa sebenarnya yang diinginkan para siswa kelas "terheboh" itu?
"Mestinya kami lebih banyak diperhatikan oleh guru."
"Mestinya kami sering diajak bicara oleh guru."
"Mestinya kami lebih sering diajak membuat kesepakatan-kesepakatan."
"Mestinya guru harus percaya kepada kami. Tanpa mencatat berlembar-lembar, kami mau belajar."
Dan klimaksnya, terlontar pernyataan, "Mestinya kami disamakan dengan anak yang lain. Tidak dicap nakal."
Saya langsung meminta mereka serius dalam menjawab pertanyaan pamungkas, "Jika keinginan kalian dipenuhi, apakah di kelas ini akan terjadi keadaan yang harmonis antara guru dan kalian? Apakah kalian mau dengan rela dan ikhlas memandang guru kalian seperti orangtua kalian yang layak dihormati?"
Serempak mereka menjawab, "Mau!" dan mengangguk.
Kemudian, saya menuliskan di papan tulis untuk disalin oleh siswa di buku tulis masing-masing. Saya menggunakan metode mind map untuk mencatat. Saya tulis di tengah-tengah menghormati guru. Lalu, saya tarik garis ke atas dengan frasa arti hormat (what), garis menyamping disertai dengan frasa mengapa guru dihormati (why), dan garis ke bawah yang disertai frasa selanjutnya bagaimana (what next). Pada frasa arti hormat, saya tarik garis-garis cabang, yang disertai dengan frasa: "kerja sama", "saling percaya", "memberikan respons positif", "tanggung jawab", dan "bicara yang santun". Sedangkan pada mengapa guru dihormati, saya menarik cabang-cabang yang disertai tulisan: "merekalah pemberi ilmu", "pengubah perilaku negatif", "pengajar cara berpikir", "sumber profesi", dan "menyelamatkan dunia dan akhirat". Puncaknya, pada frasa selanjutnya bagaimana dengan tegas saya tulis: "harus mengikuti pelajaran", "menyelesaikan target belajar", "berterima kasih kepada guru", dan "memohon maaf secepatnya jika punya kesalahan".
Dengan antusias, semua siswa mencatat mind-map di buku tulisnya. Ada yang berbeda daripada biasanya. Mereka menulis dengan posisi landscape dan memulai tulisan dari tengah. Saya menantang siswa agar nanti malam menyalin kembali catatan ke dalam kertas gambar berukuran A3 dengan diberi warna-warni. Setelah selesai mencatat, saya bertanya, "Apakah kalian senang mencatat dengan cara seperti ini? Capai nggak?"
"Asyiikkk, gak capai ...!" jawab mereka serempak.
Lalu, saya minta mereka membuka kembali kertas yang berisi nama guru yang tidak disukai, yang telah mereka tulis di awal belajar. Kembali saya meletupkan emosi mereka.
"Coba Adik-Adik, bayangkan wajah guru yang kalian tulis. Ada tanda tanya di sana. Apa maksudnya? Tidak lain adalah pertanyaan yang harus kalian jawab dengan hati kecil kalian. Apa benar mereka cerewet? Apa benar mereka galak? Sehingga tidak kalian sukai atau bahkan membencinya. Apa benar? Coba jawab dengan nurani kalian. Kalian tahu, merekalah yang akan menyelamatkan dunia dan akhirat kalian. Merekalah yang berusaha agar cita-cita kalian terwujud. Ada yang ingin jadi pemain bola, dokter, pelaut, bahkan pembalap. Apa kalian sadar, dari guru yang namanya kalian tulis itulah keinginan kalian akan mulai terwujud? Lalu, apa pantas sekarang kalian mengatakan mereka tidak menyenangkan? Ayo, bagi yang merasa masih punya hati, silakan berdiri, bangkit, temui guru yang kalian tulis tersebut. Ucapkan permohonan maaf yang benar-benar dari hati. Kapan lagi kalau tidak sekarang? Ayo, berdiri, cari guru kalian!"
Selanjutnya, ada air mata yang mengucur antara guru dan siswa. Alhamdulillah, saya ucapkan ke hadirat Allah Swt., saya berhasil menutup empat puluh menit mengajar dengan cantik. Siswa memahami pengertian tentang sikap menghormati, mengapa guru harus dihormati, dan bagaimana cara siswa menghormati guru dalam kehidupan sehari-hari. (Munif, 139-143).
Dari penjelasan di atas, maka muncul pertanyaan apa yang dimaksud dengan pengelolaan kelas? Apa yang harus dilakukan guru dalam mengelola kelas? Bagaimana pandangan pengelolaan kelas menurut kaum otoritatif, permisitif, behavioral, sosio – emosional dan sistem sosial? apa tujuan pengelolaan kelas? Apa saja pendekatan yang digunakan guru dalam pengelolaan kelas? Apa saja prinsip-prinsip pengelolaan kelas? Bagaimana pengelolaan kelas yang efektif?

Pengelolaan kelas
Pengelolaan kelas adalah suatu keterampilan untuk menciptakan dan memelihara kondisi pembelajaran yang optimal sehingga pembelajaran dapat menyenangkan dan mendapat respon berupa partisipasi aktif dari peserta didik, sehingga peserta didik mampu memahami materi pembelajaran sesuai dengan target dan tujuan pembelajaran.
Dalam pengelolaan kelas guru harus mampu dan melakukan (1) penghentian tingkah laku peserta didik yang memecah perhatian kelas dan tidak ada hubunganya dengan materi, (2) pemberian penguatan (hadiah) bagi peserta didik yang mampu menyelesaikan tugas dengan cepat dan benar. Misal memberikan pujian, mengumumkan di depan kelas, (3) menjalin hubungan interpersonal yang baik antara guru dengan peserta didik dan antar peserta didik, (4) memberikan perhatian pada peserta didik yang mengalami kesulitan memahami materi, dengan pendekatan yang "humanis" sehingga peserta didik tersebut tidak merasa terbebani dan termotivasi untuk mampu menyamai rekan rekannya, dan (5) mampu menggunakan sarana yang ada dengan lebih optimal.
Beberapa pengertian pengelolaan kelas menurut beberapa pandangan. Menurut Santoso (2013) pandangan kaum otoritatif, bahwa kelompok ini memandang bahwa pengelolaan kelas sebagai proses untuk mengontrol tingkah laku manusia.
Pandangan kaum permisif menekankan bahwa guru dalam mengelola kelas harus memaksimalkan perwujudan kebebasan siswa. Pandangan kaum behavioral, dalam mengelola kelas harus didasarkan prinsip-prinsip pengubahan tingkah laku.
Pandangan kaum sosio – emosional, memandang pengelolaan kelas sebagai proses penciptakan iklim sosio – emosional yang positif di dalam kelas. Pandangan kaum sistem sosial beranggapan, bahwa kelas merupakan sistem sosial dengan proses kelompok sebagai intinya.
Tujuan pengelolaan kelas menurut Sudirman dalam Djamarah dan Aswan (2006) adalah penyediaan fasilitas bagi macam-macam kegiatan belajar siswa dalam lingkungan sosial, emosional, dan intelektual dalam kelas.
Ada delapan pendekatan yang dapat dipertimbangkan oleh guru dalam mengelola kelas, yaitu pendekatan kekuasaan, ancaman, kebebasan, pengajaran, perubahan tingkah laku, proses kelompok, dan elektis (pluralistik).
Menurut Santoso (2013) pendekatan kekuasaan menekankan peran guru untuk menciptakan dan mempertahankan situasi disiplin dalam kelas. Pende-katan ancaman digunakan untuk mengontrol tingkah laku peserta didik. Pendekatan kebebasan dibuat agar siswa merasa bebas untuk mempelajari materi pembelajaran kapan dan dimana saja. Pendekatan pengajaran merupakan merupakan suatu perencanaan dan pelaksanaan pengajaran harus mencegah munculnya masalah tingkah laku peserta didik dan memecahkan masalah, apabila tidak bisa dicegah. Perubahan tingkah laku menekankan guru untuk mengembangkan tingkah laku peserta didik dan mencegah tingkah laku yang kurang baik. Pendekatan suasana emosi dan hubungan sosial menekankan pada iklim atau suasana emosional dan hubungan sosial yang positif dalam kelas. Pendekatan proses kelompok untuk menciptakan kelas sebagai sistem sosial. Pendekatan elektis (pluralistik) yaitu potensialitas, kreativitas dan inisiatif guru dalam menggunakan berbagai pendekatan pengelolaan kelas.
Prinsip-prinsip pengelolaan kelas ada dua yaitu intern dan ekstern siswa. Selain prinsip keduanya, ada juga prinsip yang lain hangat, antusias, bervariasi, keluwesan, penekanan pada hal yang positif, dan penanaman disiplin.
Menurut Pidarta (1983) pengelolaan kelas yang efektif meliputi (1) persahabatan dan kepercayaan yang kuat antar peserta didik, (2) manajemen kelas yang memberi fasilitas untuk mengembangkan kesatuan dan kerja sama, (3) dibentuk kelompok agar berpartisipasi dan mengambil keputusan, (4) anggota kelompok harus dibimbing dalam menyelesaikan pekerjaan, dan (5) apabila situasi kelas memungkinkan peserta didik belajar secara maksimal, maka fungsi kelompok harus diminimalkan.
Daftar Pustaka
1. Chatib, Munif. 2011. Gurunya Manusia: Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara. Bandung: Penerbit Kaifa.
2. Santoso, Bowo, Tri, J. 2013. Strategi Pembelajaran Akuntansi. Semarang: Kanthil.
3. Djamarah, Syaiful, B. dan Aswan, Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
4. Pidarta, Made. 1983. Pengelolaan Kelas. Surabaya: CV. Usaha Nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline