Seorang teman baik bercerita, saudara tuanya -- laki-laki---punya kebiasaan mengesalkan. Yaitu kerap merepoti ibunya yang sudah sepuh, padahal sudah berkeluarga tinggal di tanah perantauan. Si saudara tua, anaknya -- berarti cucu si ibu---kuliah bahkan ada yang sudah menikah.
Sampai-sampai teman ini gregetan, kelau orang dimaksud pulang kampung. Tiba-tiba ada saja disampaikan, sehingga tabungan ibunya -- pas dichek--berkurang. Entah soal bayaran uang kuliah yang telat, uang sewa kost nunggak dan lain sebagainya.
Yang membuat gemas, peristiwa semisal terjadi berulang-ulang. Baik yang terang-terangan, maupun secara sembunyi-sembunyi -- tanpa ketahuan saudara lain. Ketahuan teman ini, ketika si ibu minta tolong nge-print buku tabungan. Terdeteksi ada transaksi, berupa transfer ke rekening kakaknya.
Ibunya juga susah diberi masukan, agar tidak menuruti permintaan si anak. Karena kalau ada apa-apa, teman ini ikut repot karena serumah dengan ibu.
"Terus, piye ngene iki, judeg aku?" tanya-nya sembari menampakan kerut wajah kesal.
----
Sebagai orang di luar circle, saya berusaha melihat netral tanpa memihak. Toh, hanya diminta tanggapan. Meski demikian, saya memberi penilaian sesuai hati nurani dan sikap saya.
Soal kebiasaan kakak laki-laki, seratus persen saya tidak setuju. Sikap dan keputusannya -- merepotkan orangtua--, saya sama sekali tidak membenarkan. Sebagai orang yang beranak-pinak, semua keputusan wajib ditanggung sendiri risikonya.
Bagi saya, berani menikah berarti bisa memosisikan diri sebagai pribadi mandiri. Segala konsekwensi di rumah tangga, bersama pasangan dicarikan jalan keluar. Jangan sedikit- sedikit, melibatkan orangtua turun tangan. Mereka sudah cukup dibebani, semasa anak-anaknya belum dewasa.