Kompasianer's, mungkin ada yang pernah mengalami ?
Menagih utang susahnya minta ampun, akhirnya si pemberi utang -- piutang - bosan dan menyerah. Jujurly, saya pernah beberapa kali mengalaminya.
Tidak sekali dua kali, dengan orang berbeda di masa dan tempat berbeda. Semasa masih bujangan, dengan teman baik di Surabaya. Kemudian pindah ke Jakarta, ada teman sekantor yang tidak membayar utang.. Setelah menikah, kejadian serupa terjadi.
Kejadian terbaru, urusan pinjam meminjam tak selesai di tahun 2024 yang baru lalu. Sebenarnya bukannya tidak belajar dari kasus yang lalu, tetapi ada case yang tidak bisa dihindarkan -- nanti saya ceritakan detil-nya.
Yang pasti sangat manusiawi, seketika ada perasaan kesal dan kecewa. Apalagi kalau sedang tiada uang, dan benar-benar butuh. Maka pikiran langsung ingat, pada nama-nama pemangkir utang. Tetapi mau menagih enggan, karena sudah bisa menebak endingnya
Seiring berjalannya waktu, mau tak mau sikap nrimo itu datang. Sembari belajar mengikhlaskan, belajar berdamai dengan keadaan. Tetapi kepada si pengutang, dijamin sikap kita mulai berubah dan bergeser.
Yang semula dekat menjadi renggang, semula peduli menjadi acuh. Alergi berurusan dengan orang yang sama, enggan membuka hubungan pertemanan lagi. Karena jadi teringat, kejadian menyesakkan hati itu.
Benar, bahwa utang bukan sekadar uang. Tetapi menyangkut kredibilitas, menyangkut kepercayaan. Orang yang mangkir dari utangnya, adalah orang yang sedang merugikan dirinya sendiri. Niscaya dijauhi yang pernah dekat, otomatis menutup pintu rejeki sendiri.
------
Sebenarnya sama sekali tidak ada larangan, orang memiliki utang. Karena kondisi terdesak dan kepepet, sangat bisa dialami orang kapan saja. Utang bisa menjadi jalan keluar, saat keuangan sedang tidak baik dan ada kebutuhan mendesak.