"Namanya anak-anak, kalau salah ya wajar. Harusnya yang sudah tua, menegur mengingatkan baik-baik," kalimat bapak terdengar sengit.
Suatu hari, saya mendapati bapak dan ibu sedang ribut. Soal kakak tengah, yang perilakunya tidak dibenarkan oleh ibu. Sikap kepada saudara jauh, dianggap ibu bisa mencoreng orangtua. Saat ibu mengomel, bapak terus mementahkan pandangan istrinya.
Saya melihat dengan jelas, ada senyum tipis di bibir kakak. Meskipun masih kecil, saya bisa merasakan gemuruh di dada kakak. Ada sorak sorai kemenangan, mendapatkan pembelaan dari bapaknya.
Sebenarnya, situasi demikian bukan satu dua kali saya temui. Saya cukup hapal bapak, yang selalu pasang badan saat anaknya disalahkan. Terkhusus anak mbarep dan tengah, lebih disayang dan diperhatikan.
Saya bungsu, merasakan perbedaan sikap itu. Saat saya menangis kejer, karena keisengan kakak tengah. Malahan saya diminta mengalah, sikap tidak setuju saya tidak berpengaruh.
Ketidaksetujuan yang tak tersampaikan, hanya bisa dipendam rapat. Sesekali kalau ngobrol dengan ibu, saya utarakan. Tetapi ibu sama, menenangkan dan minta saya bersabar. Sungguh tidak masuk ke logika saya, memahami situasi yang berlangsung.
Sampai jauh di kemudian hari, setelah bapak berpulang ke alam baqa. Satu demi satu jawaban terkuak, membukakan mata hati ini dalam-dalam.
Seketika saya berbalik sikap, menjadi pendukung nomor satu. Sangat maklum dan mengamini, alasan bapak bersikap demikian.
Apalagi setelah menjadi ayah, saya merasakan ada yang tidak lazim pada sudut pandang ayah. Bahwa bahagianya ayah adalah bahagia yang unik.
Saya yakin, Kompasianer yang sudah menjadi ayah, akan sepakat soal ini.
----