Kompasianer, pesta demokrasi Pilkada serentak 2024, baru saja kita semua lewati. Suasananya masih terasa banget, di medsos sedang riuh angka persentase versi penghitungan cepat.
Saya juga penasaran, hasil penghitungan di beberapa daerah. Mengingat beberapa nama calon diunggulkan, ternyata tidak menang di penghitungan cepat. Kemudian berbagai spekulasi muncul, membahas penyebab kekalahan calon tertentu.
Yang tak kalah seru, adalah perdebatan para pendukung di medsos. Timeline saya, ramai perdebatan ala-ala orang awam (baca ; sok tahu). Saya kelompok tidak suka ribut, memilih menyimak dan tidak ikut-ikutan perang opini.
Cukuplah, keterlibatan dibuktikan dengan menjadi petugas KPPS. Berjibaku dan sibuk di proses pemungutan suara, yang menguras energi dan pikiran.
Pagi ini---sehari setelah Pilkada--, rasa ngantuk dan capeknya badan belum sepenuhnya hilang. Di WA grup koordinasi, masih ada wapri permintaan petugas KPU kelurahan. Ada data ini dan itu yang kurang, minta dokumentasi foto atau nota pembelian, dan lain sebagainya.
Dan setelah kali ke empat menjadi anggota KPPS, satu hal saya rasakan. Bahwa menjadi petugas KPPS, dituntut selalu jeli dan teliti. Terutama di masa-masa genting, saat penghitungan suara berlangsung.
Selisih satu angka saja, seketika perasaan sama hinggap di benak tujuh petugas KPPS. Yaitu bingung, kesel, kecewa, mengingat-ingat bagian mana yang salah. Saementara pikiran sudah kusut, badan lelah bertambah-tambah dan kelopak mata sudah ngantuk.
Kami sepakat, terpaksa menghitung ulang. Surat suara yang diikat karet, kembali dibongkar satu per satu. Empat orang menghitung ulang, berbagi tugas dengan petugas lain.
Dan pada itung ulang ini, kami musti lebih jeli dan teliti. Apalagi seharian ini, kami diawasi petugas Bawaslu, saksi calon yang turut hadir. Mereka standby sedari TPS belum buka, menyaksikan pembacaan sumpah anggota KPPS, sampai penghitungan surat suara selesai.
----