Menulis atau ngeblog membutuhkan ketekunan dan komitmen. Karena menulis adalah pekerjaan yang tidak mudah, butuh strategi unik menghasilkan karya yang baik. Karena tidak semua orang dianugerahi kebisaan menulis, kompasianer berbesar hatilah dengan bakat menulis yang dimiliki meski (bisa jadi) banyak hal yang membuat hati ciut.
Saya Kompasianer dengan jumlah keterbacaan relatif rendah. Beberapa tulisan saya belakangan rata-rata tidak menyentuh angka seratus viewer. Dibilang sedih ya sedikit, dibilang nyesek ya ada sedikit, tapi (insyaAllah) tidak membuat kapok. Buktinya, saya masih menulis dan memosting artikel ini.
Tapi di situasi terdesak, saya berusaha menghibur diri bahwa keadaan demikian sangat wajar terjadi, tak ada pilihan kecuali menjalani. Kesulitan bisa menjadi ajang pembuktian bahwa saya tidak terpengaruh kecil-besarnya keterbacaan. Meski kadang muncul rasa bosen, tetapi saya terus mencoba menghalau perasaan itu.
Kembali ke awal menulis di Kompasiana, sama sekali tak terbersit motivasi apa pun selain menulis. Kali pertama memosting artikel di Kompasiana, saya sempat diliputi perasaan ragu. Apakah tulisan dengan mutu sekadarnya pantas dan mendapat sambutan baik? Dulu di awal menulis, ada rasa lega setelah memosting artikel di Kompasiana.
Kelegaan tersebut yang kemudian membuat ketagihan. Besok dan besoknya, pengin nulis dan nulis lagi kemudian memosting. Lama-lama ada perasaan yang kurang kalau sehari saja tidak memosting tulisan di blog sehingga menulis tidak berhenti di sekadar menulis.
Orang dengan tingkatan demikian akan merasakan passion, bisa merasakan tulisan yang baik, mencerna bagian per bagian paragraf.
-----
Seiring perjalanan waktu, tanpa disadari motivasi menulis itu mulai bergeser. Yang semula lugu, mulai berubah dan hal ini sungguh- sungguh mengganggu, misalnya mengejar jumlah keterbacaan, mengincar posisi artikel utama atau kolom artikel populer, nilai tertinggi, dan seterusnya.
Seorang teman memberi masukan agar saya terus meluruskan niat menulis. Bahwa sebaiknya menulis untuk menulis saja, bukan lagi mengincar posisi artikel utama dan semisalnya. Dengan demikian "sense menulis" muncul. Ada perasaan sayang kalau tidak diasah.