"Dah bisa beli rumah, beli mobil, terus kapan nikahnya"
"Lo tuh ganteng, masak nggak ada yang mau lo ajak nikah"
"Buruan merrid, seumuran lo sudah pada punya anak tuh"
Bagi jomlo, saya yakin tak asing dengan kalimat sejenis di atas. Itu baru tiga kalimat, yang kalau diteruskan masih sangat banyak. Mulai dari kalimat sindiran halus, sindiran kasar, kalimat yang dibalut becandaan, terang-terangan, sampai kalimat nyinyir level atas.
Entah apa tujuan si penanya, apalagi kalau disampaikan di ruang terbuka di depan orang banyak. Tetapi saya menerka, bahwa mereka ingin menjatuhkan mental.
Berbagai motif ada dibelakang sikap ini, sangat mungkin terselip dengki, atau punya muslihat untuk keuntungan pribadi.
Efek dari celetukan-celetukan tersebut, lazimnya menimbulkan rasa kesal di benak orang yang ditanya. Efek kelanjutannya bisa ditebak, adalah renggangnya hubungan dan atau komunikasi. Kalau hal sama diulang-ulang, sangat mungkin berpotensi memutuskan tali pertemanan dan menimbulkan permusuhan.
Saya pernah berada di posisi, dijadikan object pem-bully-an orang sekeliling soal menikah. Ketika itu usia mendekati tiga dasawarsa, ketika beberapa pencapaian telah saya raih. Soal kesendirian mendadak dijadikan bahan, untuk menyerang baik secara langsung ataupun tidak.
Saya merasakan bagaimana merana dan bingungnya, menjawab atau menawarkan pertanyaan kapan menikah. Karena soal satu ini (menikah), tidak semudah merencakanan (misalnya) piknik atau meneruskan sekolah jenjang S2.
Kesiapan diri secara materi dan mental seseorang, tidak serta merta berbanding lurus dengan tersedianya calon pasangan. Perjalanan hidup setiap orang berbeda-beda, tak elok apabila dipersamakan atau diperbandingkan.