Membaca status yang lewat beranda di medsos, saya ikut merasakan sebegitu geram, marah dan jengkelnya si penulis.
Di statusnya yang panjang, pemilik status menyayangkan kekonsistenan orang yang menanyakan status kejomloan, sampai setiap ucapan dan tindakan selalu dihubungkan dengan kebelumnikahan si pembuat status.
Padahal saudara bukan, kerabat bukan, sahabat dijamin bukan, temanpun kemungkinan sekedar kenal.
Entah benar atau tidak, sekilas saya menebak ada terbersit maksud tidak baik dibalik pertanyaan "kapan nikah" tersebut. Biasanya, tujuan pertanyaan itu tidak lain kecuali untuk menjatuhkan mental.
Kalau maksud dari pertanyaan itu baik, niscaya caranya (baik pilihan kalimat, bahasa tubuh, tekanan dan waktunya) membuat nyaman yang ditanya. Padahal kalaupun suatu saat yang ditanya benar-benar menikah, belum tentu orang yang usil bersedia membantu atau berkontribusi.
Misalnya menyokong pengadaan catering, atau bersedia direpotin mengurus ini dan itu di hari pernikahan. Saya pernah mengalami, saya pernah di posisi pemilik status tersebut.
---
Mendekati usia tiga puluh, tiba-tiba ibu saya berubah menjadi sangat cerewet. Setiap kali menelpon, pertanyaan itu-itu saja yang dilontarkan.
Saya sempat dibuat sebal dengan sikap ibu, tetapi tidak sampai marah apalagi dimasukkan hati. Karena saya sangat paham dan percaya, bahwa ibu orang yang tulus dan bermaksud baik untuk anaknya.
"Ayo to le. Kalau ditunda-tunda, ibu kasian masa tuamu nanti," ujar ibu saat saya mudik.