Perempuan usia setengah abad, matanya sembab duduk di hadapan. Saya sebagai pendengar, tak menyelak saat cerita dituturkan. Dari bahasa tubuh dan tatapan sayu itu, saya bisa merasakan kegundahan.
Puluhan tahun sudah kerap dikasari sang suami, baik secara fisik maupun psikis. Tak terhitung berapa pukulan, tamparan, tendangan menyasar dan mendarat di tubuhnya. Pun kasar secara psikis, berupa umpatan, direndahkan, ditampakan perangi tak bersahabat.
Tenaganya jauh tak bisa mengimbangi, untuk melawan tanding tubuh berotot lelaki yang menikahi. Bisanya menangis menjerit, meski tak serta merta mengubah keadaan.
"Dasar B*d*h" umpat suami
"Kalau aku pintar, dari dulu nggak mau jadi istrimu" balasnya sembari menahan air mata
Jawaban menyaut sekenanya, kalau sudah tak tahan dengan keketusan yang bertubi-tubi.
Namun dalam kelemahan satu hal dirasakan, kesabarannya mengganda. Dalam ketidak berdayaan, sikap pasrah meneguh setangguh karang.
"Apa alasan bertahan?" tanya saya penasaran.
"Anak-anak" jawabnya lirih disela isakan
Sebagai ibu direlakan dirinya menaggung sebagai pesakitan. Tak hirau kebebasan berpendapat dilanggar, bahkan di otaknya tak sampai kepikiran komnas HAM.
Dirinya sendiri tidak lagi dipentingkan, dibanding keberlangsungan masa depan buah hatinya. Selain itu pertimbangan, menjaga perasaan orang tua sudah sepuh.