Sependek pengalaman hidup dijalani, saya pernah merasakan (yang namanya) dikecewakan, dibohongi, disepelekan, diingkari atau sikap semisal oleh seseorang. Musababnya bisa karena salah paham, atau bisa jadi memang sedari awal keberadaan saya tidak dianggap.
Berada di posisi demikian sungguh tak mengenakkan, tak jarang membuat dada ini sesak dan sakitnya sampai ulu hati. Saya merasakan, sedang berada di tempat dan waktu yang tidak tepat.
Ajaibnya --Qodarullah-- selang beberapa waktu ke depan, keadaan tak mengenakkan kemudian berbalik seratus delapan puluh derajad. Entah apa yang dilakukan semesta, sehingga saya yang tadinya merasa terpuruk sontak seperti berada di atas angin.
Orang yang tadinya menyepelekan, tiba-tiba menyampaikan permohonan maaf dengan sungguh. Kawan ini mengakui kesalahan tanpa saya repot- repot membela diri, dia mengaku salah karena telah mengambil keputusan berdasarkan informasi sepihak tanpa kroscek.
Kompasianer, mendapat angin segar memang enak, tapi kalau tidak hati-hati bisa menjerumuskan. Membuat ego terangkat naik, sangat mungkin menumbuhkan benih jumawa.
Saat itu terbersit niat ingin memberi pelajaran (tepatnya balasan) setimpal, ingin melampiaskan sakit hati kadung disandang.
Tetapi di sinilah, ujian berat memaafkan sedang dipergelarkan.
Memaafkan sungguh bukan perkara mudah, membutuhkan energi yang berlimpah. Memaafkan memerlukan kekuatan ekstra, terutama kekuatan untuk mengalahkan diri sendiri.
Bukankah musuh terbesar setiap manusia, sesungguhnya adalah dirinya sendiri.
-----
Siapa tak kenal Nabi Yusuf AS, Nabi berparas rupawan serupawan akhlak pekertinya. Sejak kecil tanda-tanda kenabian dimiliki, hal ini disadari ayahanda yang juga seorang Nabi (Yakub AS).