Saya masih ingat, ketika menghadiri sharing session bersama Ahmad Fuady, penulis novel Negeri Lima Menara. Fuady yang kerap mendapat beasiswa, mengisahkan tahapan untuk mendapatkan sekolah gratis di luar negeri.
Dan setelah beberapa negara disinggahi, pria asal kampung di seputar Danau Maninjau ini ditunjuk menjadi juri seleksi pencari beasiswa.
Ada penjelasan yang membuat saya terkesan. Pada sesi wawancara, setiap peserta diminta menjelaskan upaya melestarikan lingkungan.
Rupanya banyak peserta gagal di pertanyaan ini, karena sebagian besar jawaban dikemukakan masih pada tataran sangat normatif.
Misalnya melestarikan lingkungan, melalui gerakan penanaman kembali hutan gundul, dan atau setiap menebang satu pohon diganti dengan menanam sepuluh pohon.
Ada yang lebih serius lagi, yaitu mendorong dibuatnya payung hukum lebih tegas. Sehingga penebang tidak seenaknya sendiri, meratakan pohon di kawasan hutan.
Dan ada beberapa peserta berhasil, kemudian berhak mendapat beasiswa. Jawaban dikemukakann sangat personal, meski skalanya kecil dan sederhana.
Calon penerima beasiswa ini bercerita, pernah ikut menanam bibit pohon di halaman sekolah. "Kebaikan kecil tapi dilakukan nyata, akan mendapat apresiasi dari dewan juri," ujar Fuady.
-------
Saya beruntung, menjadi bagian dari admin Ketapels (Kompasianer Tangerang Selatan Plus). Komunitas yang menaungi Kompasianer, yang berdomisili di Tangsel dan sekitarnya.
Bersama Kang Rifky, Mbakyu Mey Agatha dan Bang Dzul, (tanpa terasa) lebih kurang empat tahun bergandengan tangan bahu membahu.