"Seumuranmu dulu, aku sudah nikah !". Duh, nyebelin dan kesel ya mendenger kalimat ini.
Kompasianer, dulu saya sangat merasakan, bahwa di dalam kalimat tersebut terkandung nada "merendahkan". Dan saya menangkap aroma, bahwa si pengucap punya tujuan menjatuhkan.
Apalagi kalau diucapkan dengan nada ketus, maka semakin jelas maksud disampaikan.
Sewaktu bujang, ada kerabat yang (kalau boleh dibilang) julid terhadap saya. Bukan sekali dua kali bersikap tidak santun, bahkan di beberapa kesempatan acara keluarga.
Memang tidak selalu serius, ucapan tak bersahabat dilontarkan dengan kedok berbalut guyon. Oke, disebut guyon kalau hanya sekali dua kali diucapkan. Tetapi ketika berulang diucapkan, kalimat yang sama akan terdengar berbeda di telinga.
"Lha iya, kalau dulu aku seumurannya, sudah mikir beli susu buat anak" Bola mata itu benar tidak tertuju kepada saya, tetapi seperti ada peluru yang tepat menghunjam jantung.
"Ya, kan nggak bisa disamakan to mas" terdengar jawaban lain membela. Sejenak, saya seperti menemukan malaikat pelindung yang menolong dari mati gaya.
Kami memang masih terhitung kerabat, sehingga setiap omongan (cenderung) tidak terlalu diambil pusing. Sebagai yang (dihitung) lebih muda, apalah daya kecuali membatin dengan kesal.
Tetapi tetap saja ada rasa panas menjalar di dada, kalau ada cermin mungkin warna merah padam tampak di wajah ini.
Seperti sebuah pukulan telak, seketika berhasil membuat saya terintimidasi dan tersingkirkan. Cara mengungkapkan rasa marah, tidak ada cara lain kecuali menyingkir dari kerumunan.
"Maksudku itu, biar kamu itu semangat," ujarnya memburu dan meluruskan.