Menyambut tahun baru 2020, wilayah Jabodetabek dilanda banjir. Curah hujan turun cukup lebat, dengan rentang waktu cukup panjang. Mendung gelap nyaris seharian menggelayut, tak memberi kesempatan matahari bersinar barang sesaat.
Beberapa titik terdampak dengan cepat air meninggi, bahkan sampai menenggelamkan rumah berserta isinya. Di tempat tinggal saya tak luput dari banjir, terutama di blok B yang posisi tanah lebih rendah dari sungai.
Warga yang rumah terendam air, mengungsi di lokasi aman dengan dibantu warga yang tinggal di blok tidak terdampak. Beruntung perahu karet cepat datang, segera mengevakuasi orang tua, anak-anak, ibu hamil, ibu dan balita, serta warga yang membutuhkan bantuan cepat.
Di WA Group RT kami cepat tanggap, apa yang bisa dilakukan segera saja dilakukan. Mulai mengangkat perabot dan barang pecah belah, mengumpulkan makanan kecil dan minuman kemasan.
Seorang ibu sepuh menahan duka, anaknya baru saja pindah dan terhitung baru tiga hari ngontrak di Blok B. Uang sudah kadung dibayar lunas, untuk masa tinggal selama satu tahun ke depan.
"Baru saja uang dibayarkan, tunai tigapuluh juta untuk sewa kontrakan," saya mendengar jelas, ada tangis didalam kalimat si ibu.
-------
Sontak berita banjir naik di media massa mainstream, apalagi di media sosial tak kalah riuh. Banyak orang yang ikut nongol, memaparkan segala analisa dan argumen personal bak ahli di bidang cuaca dan bidang bersinggungan lingkungan.
Masing-masing (seolah) merasa paling tahu dan paling benar, sehingga debat kusir dengan mudah terjadi akibat tidak ada yang mau mengalah.
Timeline facebook dan twitter saya, dipenuhi dengan umpatan bersaut-sautan. Meme dadakan dipublish, menyalahkan pihak satu dan membenarkan pihak lain. Seperti dejavu, suasana medsos panas terjadi lagi, persis seperti suasana jelang Pemilu terakhir (awal tahun lalu).
Dua kubu berseberangan seperti macan dibangunkan, masing-masing ngotot dan membenarkan kelompoknya.