"Lu tu ya, kayak orang susah, ngapain repot-repot tinggal di kontrakan sak uprit gini, mending numpang di rumah mertua." Sewaktu masih hitungan penganten baru, saya sempat diledek teman (konteksnya guyon, karena kami memang akrab).
Mendengar celotehannya kawan dekat ini, tentu saja saya hanya senyum-senyum saja dan tidak terlalu menanggapi. Kalau saya tanggapi serius, justru saya yang salah dan tidak bisa menempatkan diri---Ye kan.
Kebetulan saya sangat tahu dan mengenal, kawan karib ini adalah anak ragil, diwanti-wanti dan digandoli ibunya yang sudah sepuh, agar tidak pindah rumah setelah menikah. Semua kakaknya sudah punya keluarga dan tinggal terpisah, alhasil teman ini "diikat kakinya" agar tak beranjak kemanapun.
Banyak alasan, mengapa seorang anak tidak pergi dari rumah ayah dan ibunya meskipun sudah menikah. Tidak melulu kemauan itu (tinggal di rumah orangtua) timbul murni dari si anak, tapi bisa jadi idenya dari orangtua setelah banyak pertimbangan dipikirkan.
Ada juga, teman istri yang anak tunggal, mengajak sang suami menetap dirumah ibunya yang cukup besar di perumahan menengah. Sang ayah yang sudah sepuh, merasa kehilangan kalau ditinggal anak perempuan kesayangan. Wah, kalau seperti ini enak juga kondisinya.
Entahlah, senang atau tidak, suami ini tinggal bersama mertua, toh kelak rumah ini, menjadi hak waris anak perempuan semata wayang. Untuk kasus seperti ini, saya yakin antara menantu dan mertua saling menjaga sikap, karena yang menahan langkah si menantu adalah kemauan mertua.
Tapi bagaimana, kalau keputusan tinggal di rumah orangtua adalah inisiatif anak karena tidak ada pilihan, sementara masih ada saudara lain tinggal satu atap. Bagaimana kalau kehadiran anak dan menantu dianggap merepotkan, sehingga menimbulkan konflik baru yang terjadi berkepanjangan.
Tentu butuh usaha lebih besar (terutama menantu), untuk penyesuaian dan menahan diri, agar situasi di rumah kondusif. Sebagai pendatang, sang menantu musti berbesar hati dan sabar, berjuang ekstra mengalahkan ego.
------