Dulu, sewaktu menyandang status jomblo (wan), setiap kali hendak mudik lebaran, rongga dada ini dipenuhi perasaan was-was. Karena sudah mulai menduga-duga, bakal muncul aneka pertanyaan (sengaja atau tidak disengaja) yang bikin panas telinga.
'Mana calonnya', 'Kapan sebar undangan', 'Piye kabare, anaku sudah dua, anakmu' berapa (pertanyaan ini berlaku bagi teman yang belum tahu temanya belum nikah)', 'Anak'e Yuli sudah masuk SD, sekarang anakmu umur berapa mas' (berlaku buat orang tua dari teman (Yuli), yang belum tahu kalau yang ditanya belum merrid).'
Selalu ada saja, orang yang kurang asyik, bisa saudara dari keluarga jauh atau dekat (biasanya masih ada hubungan keluarga, kalau orang lain biasanya tidak terlalu peduli dan jaga perasaan), yang agak (kata Syahrini) julid dengan keberadaan kita yang jomblo.
Apapun kondisi sebagai jomblowan ditanggapi negatif, pulang bawa oleh-oleh salah, memberi bingkisan ke saudara salah, apalagi pulang dengan tangan kosong (persis kaya pilpres ini lho---hehehehe).
Duh, susah dan bikin kesel, semua keputusan salah dan ditanggapi dengan tidak enak, si jomblo dijadikan sasaran tembak dan tidak dienakkan.
Contoh kasus, jomblo pulang membagi bingkisan lebaran ke saudara, diberi comment 'panteslah, dia punya duit, belum ada yang minta cadong (sangu)', giliran tidak membawa apa-apa, komentar beda ' orang punya duit gak bagi-bagi, jadinya jodohnya susah' sementara dia yang komentar belum tentu membawa apapun-- hehehe.
Saya jadi ingat satu kisah (bukan tentang jomblo sih), yang relevan dengan posisi serba salah dan dijadikan obyek penilaian orang lain. Sebuah kisah tentang Luqmanul Hakim, satu nama yang diabadikan dalam beberapa ayat di kitab suci Al Qur'an.
Dalam sebuah riwayat, terkisah suatu hari Luqmanul Hakim dan anaknya memasuki dari pasar, Luqman manaiki keledai dan anaknya mengikuti dengan berjalan di belakangnya.
"ssst, lihat orang tua itu, dia enak-enakan naik keledai sementara anaknya dibiarkan berjalan di belakangnya ," bisik satu orang di sudut pasar.
Mendengar hal ini, Luqman turun dari keledai, dan meletakkan anaknya diatas keledai, sementara dirinya gantian yang berjalan membuntuti. "Sungguh kurang ajar anak itu, masak dia naik di atas keledai dan orangtuanya yang mengikuti dari belakang" celetuk orang di pasar.
Lagi-lagi Luqman mendengar, kemudian menghentikan keledai dan dia naik duduk di belakang si anak, sehingga keledai memanggul beban ganda. "Coba itu lihat, begitu teganya dua orang ini, sengaja menyiksa seekor keledai tak berdaya"bisik-bisik terdengar lagi.