Riuh pilpres 2019 sampai hari ini belum kelar, kini sedang memasuki babak baru, tetap berpotensi menyulut dua kubu saling sindiri dan nyinyir di medsos. Sungguh disayangkan, mengingat kita tengah berada di bulan suci Ramadan.
Bukankah bulan Ramadan, seharusnya menjadi moment menahan hawa nafsu. Bukan hanya nafsu menahan makan dan minum di siang hari saja, tetapi menahan diri berbicara seenaknya, menahan berkomentar dan menulis status provokatif di medsos dan lain sebagainya.
Perbedaan pilihan Capres Cawapres, (saya yakin) pasti terjadi mulai dari level keluarga. Dalam satu keluarga, sangat mungkin memiliki pilihan Capres/ Cawapres yang berbeda, hal itu sangat wajar alias biasa-biasa saja. Ada suami memilih Capres A, kemudian istri pilih B, kakak ipar pilih A, mertua pilih B, Kakak kandung, keponakan, saudara sepupu, tante/om, bude/pakde semua punya pilihan sendiri-sendiri -- namanya juga demokrasi.
Bagi saya tidak masalah, berbeda pilihan di pilpres biarlah berhenti di pilpres saja, jangan sampai terbawa dan mempengaruhi hubungan persaudaraan. Makanya saya menghindari, membahas atau berdiskusi bertema politik di WA group keluarga, hal ini saya lakukan agar tidak terjadi debat yang berakibat pada renggangnya persaudaraan.
Meski kadang tidak bisa dipungkiri, ada saudara yang (sekali dua kali) share meme atau kabar seputar Pilpres (baik Hoax atau Fakta) saya memilih diam dan tidak menanggapi.
Semua pasti sepakat, bahwa nilai persaudaraan lebih mahal, dibanding sekedar mengumbar kalimat "Curang" "Berpihak dan Berat Sebelah" "Tidak Adil" serta kalimat tidak elok lainnya, yang tidak ada untungnya buat kita sendiri.
------
Kompasianer, yang suka liwetan, ngacung !! itu, makan bareng, kemudian makanannya ditata di atas daun pisang, nasi dan semua menu komplit, disantap sambil ngariung (bahasa Sunda dari ngumpul) berjajar dari ujung ke ujung.
Siapa sangka, ternyata tradisi liwetan sudah dimulai ketika pengaruh Islam masuk ke pulau Jawa. Melansir tribunnews, Prapto Yuono, Dosen Sastra Jawa Universitas Indonesia, mengatakan bahwa kegiatan liwetan ini lebih spesifik dilakukan hampir di semua pesantren pada masa lalu.
Awal tahun 90-an, saya pernah mondok (sebentar) di pelosok pesisir Jawa Timur. Saban pagi mencari kayu bakar untuk masak, santri masak satu group (biasanya 4-5 orang). Masakan seadanya, biasanya nasi putih dan sayur (tanpa lauk pauk) hasil olahan kami dituang di atas tampah/ loyang dan kami makan bersama (makan tanpa sendok).
Ajiabnya, apapun makanan yang kami olah (biasanya dari hari ke hari itu-itu saja) di dapur pesantren, rasanya selalu nikmat dan mengeyangkan, mengingat kegiatan ini membuat kangen ini tumbuh subur di sanubari.