"Hanafi, lebaran tahun ini, kamu mudik to?" terdengar pertanyaan dari ujung telepon "Han, denger ibu ngomong kan, kok diem wae"
Apa paling diharapkan perantau di penghujung Ramadan, setelah menjalani puasa demi puasa selama tigapuluh penuh. Kompasianer pasti bisa menebak, adalah pulang ke kampung halaman, bersua orangtua, sanak saudara, kerabat, sahabat dan handai taulan.
Idul Fitri, di Indonesia dimaknai dengan kembali suci atau kembali ke asal, diwujudkan dengan pulang ke tanah kelahiran. Kembali ke kampung halaman, ibarat menengok muasal kehidupan, menjenguk masa kecil sumber dan muara setiap orang.
Orang yang menjaga puasa dengan baik, mengisi waktu longgar dengan membaca kitab Qur'an, membasahi lisan dengan dzikir, mereka bisa diindikasikan tengah menanti fitri. Namanya juga menanti 'fitri', pasti ada perasaan harap-harap cemas, namun teguh menggenggam seberkas sinar asa.
Tapi tidak dengan Hanafi, lajang duapuluh sembilan tahun, seperti memendam beban susah untuk diungkapkan. Puasa Ramadan berusaha dijalani sebaik-baiknya, taraweh dan sholat malam tak jeda ditegakkan, satu hari satu juz tak lupa ditunaikan dari awal.
Namun, satu hal yaitu tentang keinginan pulang kampung, rasanya susah sekali diungkapkan, entahlah, apakah dirinya termasuk golongan yang menanti fitri atau tidak.
Pahadal segala susah payah beribah dijalani, tentu harapannya bisa membersihkan diri, sungkem di pangkuan orangtua, bermaaf-maafan dengan kawan dan sanak saudara. Kembali Fitri, begitulah indikasi orang yang berhasil puasanya, ditandai dengan sikap sopan dan tutur kata yang enak di pendengaran.
"Piye, mudik lebaran apa enggak?" dari seberang, ibu masih menanti jawaban.
"Kepastiannya minggu depan ya buk," Hanafi, menjawab netral untuk mengakhiri pertanyaan.
Sambungan telepon ditutup, suasana ruangan menjadi lengang bercampur canggung, padahal Hanafi seorang diri di ruangan meeting yang sedang kosong itu.
------