"Anak yang tidak belajar bagaimana rasanya gagal, maka tercipta energi neurotik yang disebut perfeksinisme. Mereka terjebak dalam lingkaran sempurna dan kehilangan kesempatan untuk belajar dari pengalaman" (Annamari Neal, Psikolog)
Dulu, sewaktu anak saya masih si mbarep saja, semua perhatian dan rasa sayang, tercurah pada satu-satunya buah hati. Pendek kata, apa yang diminta nyaris kami turuti, lagian anak-anak yang diminta palingan seputar mainan atau jajanan, harganya masih masuk akal.
Kalau saya mendengar anak sudah nangis, maka si ayah menjadi orang yang paling pertama "gupuh" (bergegas) mencari tahu penyebabnya. Anak pun menjadi begitu tergantung, ke mana ayah pergi (kecuali ngantor) si mbarep dipastikan mengekor -- dan saya menikmati hal ini.
Pada saat anak mulai masuk sekolah taman kanak-kanak, (baru saya sadari ternyata) kebiasaan di rumah terbawa di sekolah. Apa-apa maunya anak dimenangin, kalau berkegiatan apapun di sekolah maunya dinomor satukan tidak mau nomor dua apalagi terakhir.
Saya mengetahui hal ini, ketika gurunya ngobrol dengan istri, dan hal ini tentu menjadi masukan sekaligus introspeksi buat saya. Betapa perilaku memanjakan anak, ternyata berakibat sangat tidak baik, apalagi ketika anak dihadapkan pada dunia yang sebenarnya.
Saya berterima kasih kepada bu guru, telah menyadarkan kekeliruan kami perbuat, sehingga tidak sampai berlarut-larut. Sejak saat itu saya dan istri segera merubah sikap, agar anak tidak berlanjut dengan sikap manja dan maunya menang sendiri.
Saya memberi pemahaman pada anak, bahwa temannya di sekolah juga punya hak yang sama, untuk mendapat nomor satu dan punya kesempatan menang. Bahwa semua yang diingini (kemenangan) musti diperjuangkan sendiri dengan benar, tidak bisa didapatkan karena egois dan kemauan sendiri.
Saya suka senyum senyum sendiri, kalau mengingat masa-masa (yang saya anggap) berlebihan tersebut -- hehehehe. Beruntung pada tahun kedua si mbarep masuk kelas B taman kanak-kanak, lahir anak kedua yang membuat perhatian kami orangtua mulai terbagi.
Sikap siap kalah musti diajarkan pada anak sejak dini, hal ini menjadi tugas orangtua untuk mengajarkan pada buah hati. Bahwa perasaan orangtua dalam menyayangi anak, bukan berarti ditunjukkan dengan selalu mengabulkan keinginan anak tanpa memikirkan dampak jangka panjang.
Sebab kehidupan, tidak selalu memberi ruang pada kemenangan saja, ada ruang dan waktu lain yang musti ditunjukkan dan dipahami anak (yaitu kalah). Bahwa suatu saat, anak akan mengalami kekalahan, sehingga sikap siap menang dan siap kalah adalah sikap yang harus ditanamkan.