Berulang kali menghadiri, menyaksikan, mendengarkan prosesi ijab kabul, saya (kerap) tidak bisa membendung rasa haru. Apalagi, kalau yang duduk di meja ijab ada hubungan darah. Seperti akhir pekan di awal bulan September, benar-benar menjadi bulan yang ceria -- seperti lagu September Ceria itu lo---hehehe.
Berkumpul keluarga besar, menyaksikan keponakan di ambang hidup baru. Keponakan yang semasa balita, saya momong dan gendong saat bangun tengah malam. Seminggu sekali disambangi, sembari dibawakan jajanan kesukaan. Tiba-tiba, sudah tiba waktu membangun mahligai rumah tangga.
Entahlah kenapa, prosesi sakral ini selalu saja mengalirkan hawa lain di sanubari. Sekuat apapun saya tahan perasaan, tak urung bola mata ini mengembun juga.
"Saya terima nikahnya dan kawinnya fulan binti fulan...." terdengar ikrar ijab kabul diucapkan
Sontak saya seperti ditarik mesin waktu, kembali pada sepuluh tahun lebih silam. Berbeskap putih, kain cokelat tua corak sidomukti menawan. Kala itu saya begitu menikmati, menjadi pusat perhatian.
Tanpa rasa canggung dan atau malu, karena diselimuti perasaan bahagia begitu besarnya. Duduk di kursi berhadapan (kala itu masih) calon ayah mertua, saya terus berusaha menata dan mengontrol emosi.
Semua mendadak berubah, ketika detik dinanti semakin mendekati. Seperti berada di garis batas, pergantian suasana dan pergantian perasaan. Tangan saya dijabat erat, kemudian si (calon) ayah mertua mengucapkan kalimat penyerahan.
Prosesi ijab kabul, menjadi titik balik perubahan. Menanggalkan predikat bujangan, berganti status menjadi seorang suami. Ikrar suci bukan hal main-main, terdapat amanah kehidupan harus dipanggul. Komitmen hidup di dunia dibawa sampai akhirat, menjadi amanah harus ditunaikan spanjang hayat dikandung badan.
Bahwa menikah, adalah belajar saling mengisi, sejauh ini telah saya buktikan. Bahwa menikah, bakal melewati pasang surut penuh dinamika, itu menjadi hal yang tidak bisa dielakkan. Tapi, ada yang lebih, dari sekedar rasa sedih dan senang. Ada situasi yang lebih, dari sekedar pergantian sempit dan lapang.
Bahwa menikah, adalah menggenapkan ibadah. Kalau sebuah pernikahan diniatkan ibadah, maka menikah menjadi ajang meraup pahala. Bahwa menikah, adalah (salah satu) alasan untuk mendewasa. Apapun yang dihadapi di perjalanan pernikahan, akan menjanjikan kedewasaan bagi si pelakunya.
Menerima Pasangan dan Saling Belajar