Singa jika tidak tinggalkan sarang
Tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tidak tinggalkan busur
Tak akan kena sasaran
Nukilan puisi karya Imam Syafii di atas, begitu membekas di kalbu saya. Imam Syafii hidup pada 767- 820 masehi, karya besarnya sanggup melintasi jaman. Karya pujangga hebat ini juga, saya yakin telah menginspirasi banyak pembacanya termasuk saya.
Sungguh, saya tidak bosan membacanya berulang-ulang. Setiap kata terasa mendalam, pilihan diksi dan cara merangkai begitu luar biasa. Sang penulis begitu menyelami, apa yang tersimpan benak dengan baik dituangkan melalui ujung pena.
Puisi ini pula, dua tahun silam, kali pertama saya tunjukkan pada anak mbarep -- kala itu masih duduk di kelas lima sekolah dasar. Anak yang gemar sepak bola ini, tentu tidak terlalu tertarik dengan puisi. Si ayah mengajak ngobrol perlahan dengan bahasa semampunya, entahlah saat itu, dia paham atau tidak.
Hingga akhirnya, setiap saya sebut nama Imam Syafii, si anak langsung nyambung pada puisi hendak dibahas. Pada lelaki -- saat itu belum baliq--- kesayangan ini, saya berbagi kisah tentang indahnya dunia rantau. Melewati perjuangan tak terlupa, penuh dinamika tidak terganti. Onak duri yang dilalui, kelak akan dikenang, menjadi cerita membahagiakan.
Beberapa nama saudara disebutkan, telah berani lepas dari rumah selesai pendidikan sekolah dasar. Satu hal saya yakinkan pada anak lanang, bahwa tugas manusia adalah berproses. Bahwa setiap orang, hendaklah berproses untuk kebaikan. Tegakah saya ? kalau menuruti perasaan pasti tidak tega. Tapi situasi hendak dijalani, bukan masalah tega atau tidak tega.
Bahwa ada tujuan lebih besar, telah terpampang di kemudian hari, yaitu melatih jiwa kemandirian. Merantau --sejauh saya yakini--, adalah pintu penempaan diri tersebut. Ibarat kawah candradimuka, sebagai ajang penempaan mental dan jiwa. Merantau, adalah cara belajar menghadapi dan mengatasi kenyataan kehidupan keseharian. Belajar mengatasi masalah sendiri, tidak selalu tergantung kepada orang tua.