Lampu Ibukota berpendar terang, meski pelukan malam belum terlalu larut. Jarum jam di pergelangan tangan, baru separuh jalan meninggalkan petang.
Pukul sembilan malam, kami lima Kompasianers menunggu pesanan UberX. Sengaja berlima ride sharing, selain lebih hemat dan ekonomis, bisa ngobrol sepanjang perjalanan.
Kami berdiri di trotoar, di depan sebuah Hotel, di Jalan Wahid Hasyim - Jakarta Pusat. Tetes air belum terlalu rapat, dikirim langit untuk jatuh di jalanan Ibukota.
Acara Kompasiana Nangkring kali ini, memang selesai cukup malam. Sesuai jadwal, acara baru dimulai jam 19.00.
"Order UberX, sudah berhasil kan mbak?"
Giovani, lelaki paling muda diantara kami berlima. Nada suaranya terkesan, kalau dirinya sudah tidak sabar. Seolah menyimpan khawatir, kalau-kalau titik air jatuh menjelma lebih kerap.
"Sudah kok, tiga menit lagi sampai "
Mbak Tuty -satu dari dua perempuan diantara kami-, sebagai pemesan mencoba meyakinkan. Sembari memperlihatkan layar ponsel, membuktikan ucapannya bukan basa basi.
Sontak saya menanggapi, memanjangkan leher, mendekatkan mata ke arah handphone. Terbaca di wall aplikasi Uber, tersemat status sedang menunggu driver.
"Iya, tiga menit lagi sampai."
Saya meyakinkan Gio, mesti dalam hati sendiri ragu. Apa benar, dalam waktu tiga menit, mobil berhenti di depan tempat kami berdiri.