Suasana pagi gerimis itu semakin sendu, setelah terdengar slentingan ibu terpleset dan jatuh ke parit. Meski berita itu dibantah sendiri oleh ibu, saksi mata Yu Nem tukang sayur yang kebetulan melihat tidak bisa dianggap dusta. Yu Nem perempuan lugu, mustahil berbohong dalam urusan apapun.
Menjelang awal tahun sembilan puluhan, kami laki laki enam bersaudara masih bersekolah semua. Kakak tertua baru masuk kuliah, saya paling kecil duduk di bangku sekolah dasar -- ga usah hitung umur saya ya hehe #eh.
Betapa repot keadaan ekonomi orang tua, saat masuk tahun ajaran baru pengeluaran membengkak. Kebiasaan ibu berhutang tak bisa disembunyikan, terpaksa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan sekolah anak-anaknya. Ayah seorang guru dengan gaji tak seberapa, musti dicarikan tambahan agar semua kebutuhan terpenuhi.
Kesulitan dialami orang tua terus terekam benak, menanam tekad kuat dalam diri si bungsu. Besar keinginan meringankan beban orang tua, minimal tidak menambahi tanggungan yang ada. Selepas si ragil menamatkan Sekolah Atas, bersamaan ayah mulai memasuki masa pensiun.
Seperti kebiasaan anak sebaya di kampung, saya memutuskan merantau ke Kota Pahlawan. Berbekal ijazah SMA memasukkan lamaran ke banyak kantor, akhirnya diterima sebagai pegawai rendah di sebuah perusahaan swasta.
Gaji pertama diterima sebelum umur duapuluh tahun, sungguh saya mulai berhitung masalah pengeluaran. Upah sebulan langsung dibagi tiga puluh, hasil pembagiannya menjadi patokan besaran pengeluaran harian.
Mulai ongkos naik angkot, makan tiga kali sehari dan kebutuhan lainnya tak boleh melebihi jatah ditentukan. Dengan penghasilan tidak seberapa, saya siasati dengan puasa senin kamis, ikut pengajian malam jumat di masjid agar bisa makan malam gratis.
Pengiritan demi pengiritan dilakukan, pada akhir bulan ada sisa uang hasil berhemat. Saya buka rekening Bank pada umur sembilan belas, lima lembar uang dua puluh ribuan disetorkan ke teller.
Pengelolaan keuangan saya sangat sederhana (sampai sekarang), bisa tidak bisa uang yang ada harus cukup memenuhi kebutuhan sebulan. Saya sangat menghindari berhutang, belajar dari pengalaman ibu yang kerepotan.
"Ibu saja yang pontang panting cari utangan, kamu ojo niru yo le" kalimat ibu terngiang sampai sekarang.
Nasehat sederhana menghunjam kalbu, menumbuhkan ide tentang Financial Planing. Saya terbiasa mengumpulkan uang dari jauh hari, untuk keperluan besar beberapa bulan/ tahun kedepan.