Setelah hampir seperempat abad merantau, kegiatan mudik telah menjadi bagian dari hidup saya. Dulu semasa masih bujangan, sembilan tahun saya melewatkan waktu di kota Pahlawan. Mudik menjadi urusan yang sangat praktis, karena hanya membawa diri sambil nyangklong ransel.
Dengan jarak tempuh sekitar empat sampai lima jam, saya biasa mengambil perjalanan pada dini hari. Sekitar jam satu bus berangkat dari terminal Purabaya, jelang subuh baru sampai di terminal kota kelahiran.
Perjalanan yang begitu efisien dan cenderung lancar, pasalnya selain belum banyak lalu lalang kendaraan, sepanjang waktu di bus bisa dilewatkan dengan tidur. Bus berhenti dan mampir di setiap terminal tidak begitu lama, hanya menurunkan penumpang di setiap kota persinggahan.
Setelah sampai di terminal kota kelahiran istirahat dan menunaikan sholat subuh, dilanjutkan naik angkutan desa menuju rumah. Udara yang masih dingin menyentuh pori-pori, membuat perjalanan pulang selalu ngangenin.
Saat masih tinggal di Surabaya, saya bisa pulang kapanpun mau dan ada waktu. Selain ongkos bus yang tak terlalu mahal, badan juga tidak terlalu capek di perjalanan. Bahkan bisa pergi dan pulang di hari yang sama, kalau sedang ada keperluan mendadak di kampung.
Meski pulang kampung bisa sewaktu waktu, mudik di hari lebaran tak pernah terlewatkan. Prosesi mudik di hari yang fitri, selalu menebar suasana yang terasa berbeda. Sepanjang perjalanan terdengar alunan takbir, sontak perasaan tentram menyiram kalbu. Sayup pujian pada Sang Pencipta menggetarkan kalbu, menyelinap di antara deru mesin bus antar kota.
Tak jarang bus berpapasan dengan truk konvoi takbir, lengkap dengan obor dan keriuhan pengeras suaranya. Betapa bahagia bisa tercipta dengan mudahnya, dengan melakukan kegiatan yang terkesan sederhana.
Ah serunya mudik, benar-benar tak bisa tergantikan dengan apapun juga. Meski perjalanan dari Surabaya tak terlalu jauh, bus yang ditumpangi biasanya selalu sarat penumpang. Bus jurusan kota di Jawa Tengah, menurunkan saya di kota pertengahan.
Untung saya cukup gesit dan masih sendiri, dengan cepat bisa mendapatkan kursi di dalam bus. Apalagi dengan naik bus di waktu malam, tidak terganggu dengan pedagang asongan menawarkan jualan.
Semangat mudik tak pernah surut, meski dari dulu ada yang selalu saya hindari yaitu mudik dengan kendaraan roda dua. Perjalanan dengan jarak tempuh yang relatif jauh, rasanya terlalu riskan apabila ditempuh menggunakan motor.
Jalur antar kota yang didesign untuk kendaraan besar, bagi saya sebaiknya jangan terlalu memaksakan diri. Bayangkan saja, pengendara motor yang hanya berjaket musti menghadang terik dan angin secara langsung.