Lihat ke Halaman Asli

Agung Han

TERVERIFIKASI

Blogger Biasa

Jangan Sensi Ketika Ditanya Kapan Menikah

Diperbarui: 8 Desember 2016   10:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi dokpri

Pada saat mendekati usia tiga puluh tahun, kala itu saya mulai mendapat warning dari orang tua (terutama ibu sih). Ibu yang suka bercanda mendadak berubah, hampir setiap saat mengingatkan pentingnya pernikahan. Mula-mula dengan kalimat halus, tapi lama-lama to the point dan bikin kuping panas. Sampai suatu saat saya ngambek, tak mau menelpon ibu untuk beberapa waktu.

Begitulah cara saya melampiaskan kesal, biasanya setelah aksi ngambek diiringi sikap ibu sedikit melunak. Tapi itu terjadi hanya sesaat, sehari dua hari kemudian hal yang sama diulangi. Menanyakan hal sensitive tentang menikah, pada bungsunya yang masih jomblo ini #Eh.

Setelah masa jauh berlalu, tiba-tiba saya merasakan sisi positif tindakan ibu. Kini saya merasa beruntung, melewati hari ke hari bersama istri dan dua buah hati. Sejatinya di balik sikap yang ditunjukkan ibu, sebenarnya ada tujuan baik untuk anaknya. Hanya kadang si anak kurang paham, menanggapi sikap menjengkelkan tersebut dengan ngambek/ marah.

Padahal Haqul yaqin, sejak zaman majapahit sampai akhir jaman niat seorang ibu semata untuk kebaikan anaknya. Tak ada ibu bahkan induk seekor binatang pun, ingin menjerumuskan anaknya pada jurang kesengsaraan --semoga sepakat ya.

Saya pernah membaca tulisan karya Prof Johanes Surya, dalam sebuah buku berukuran sedang berjudul Mestakung atau Semesta Mendukung. Intinya kurang lebih begini, ketika kita manusia berada pada posisi tersudut otomatis secara naluri menuntut dirinya lebih kreatif. Pada saat manusia berada pada posisi terdesak, seluruh insting akan berkerja dan terstimulasi berlaku melebihi batas kemampuan. Nah ketika manusia mengerahkan segenap daya, akan ada kekuatan dari luar yang membantu.

Pada buku ini diberi contoh, ketika seorang lari terbirit karena ketakutan dikejar anjing. Kemudian menemukan jalan buntu dan terhalang tembok tinggi, ketakutan membuatnya nekad dan berhasil melompati tembok tersebut. Padahal kalau dalam situasi normal, belum tentu bisa melompati tembok setinggi dua meter (misalnya).

Kenapa bisa melompat tinggi?

Prof. Johanes Surya dalam bukunya menguraikan, (lebih kurang begini) alam atau semesta ini sesungguhnya memiliki mekanisme sendiri. Memberi dukungan, khususnya pada orang-orang yang menyediakan diri untuk berupaya lebih.

Coba deh perhatikan, orang-orang yang pantang menyerah biasanya akan menjumpa hal hal tak dinyana. Kerap kita jumpai, orang-orang berhasil dalam keterbatasan yang dimiliki. Alam dengan caranya, menggiring dirinya untuk menciptakan sebuah situasi. Biasanya situasi tersebut akan memberi dorongan, khusus pada orang orang yang ekstra dalam berusaha.

Ilustrasi -dokpri

Saya mengalami itu!

Setelah sikap "jutek" ibu di rumah, seperti mendapat dorongan dari dalam diri sendiri. Niat  dan tekad semakin membara, ketika teman di kantor dan di pergaulan bercanda sembari mengejek. Karyawan yang seusia sudah melepaskan status lajang, saya menjadi golongan langka di kantor --hehehe. Sungguh mengesalkan, menjadi bahan becadaan dan menjadi sindiran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline