Bukan hal yang mudah, menenangkan diri dalam kegelisahan menunggu pasangan jiwa. Semua pandangan negatif, seolah tersemat pada orang yang belum menikah di usia cukup. Tak jarang orang menelisik sikap diri, entah yang dianggap jutek, tidak ramah, tidak sumeh, muka tidak bersahabat dan sebagainya dan sebagainya.
Bagi si lajang, kondisi tak mengenakkan bisa menjadi bahan introspkesi. Masukan-masukan yang terdengar, siapa tahu justru merubah menjadi pribadi yang lebih menyenangkan lagi. Toh menjadi orang yang lebih baik, sangat dianjurkan dan diperintahkan.
Saya pernah merasakan beban, menjadi jomblo di usia pantas menikah. Entahlah, merasa seperti dicibir sana-sini (terutama saudara dan kenalan dekat). Perasaan ini gampang tersinggung, kalau terdengar obrolan dengan tema pernikahan. Muka ini rasanya pengin dibungkus plastik, saat hadir di acara pernikahan saudara dekat.
"Trus ini piye, mana calonnya kok gak diajak?" tanya budhe basa-basi namun menusuk.
Saya tersenyum sangat kecut, mungkin rona wajah ini merah menuju warna marun dan padam (saking merahnya).
"Doain saja ya budhe" ibu saya menjawab menahan kesal.
Belum lagi, kalau ketemu saudara seumuran dan sudah menikah. Guyonannya kadang kelewat batas, tapi tetap saja tak saya ambil pusing.
"Kamu kuwi lo, buat apa sibuk kerja cari duit siang malam. Tapi nyuci masih sendiri, makan beli di warung" sindirnya sambil tertawa ngakak.
"Iya nih" balas saya nyengir
"Penderitaan" ini belumlah selesai, sampai di rumah mendengar "ceramah" ibu dengan tema pernikahan. Sungguh, pengin banget kabur saat itu juga. Tak ingin kuping ini mendengar, apapun perkataan di luar sana. Tapi apa boleh buat, yang penting upaya telah dilakukan rangkaian doa telah dilangitkan.
Menunggu terwujudnya harapan, betapa membutuhkan kesabaran tak terkira. Menunggu datangnya jodoh, benar seperti mengharap hujan di musim kemarau (Halah).