Lihat ke Halaman Asli

Agung Han

TERVERIFIKASI

Blogger Biasa

Itmamul Khuluq: Petani atau Peternak Itu Pewaris Budaya

Diperbarui: 24 Oktober 2016   04:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Itmamul Khuluq dengan usaha telur puyuh -dok Itmamul Khuluq

Perhelatan Danamon Awards tahun ini, kembali akan digelar pada bulan November 2016. Diantara lima sosok nomine, terdapat nama Itmamul Khuluq. Pria berusia 30 tahun asal Lamongan Jawa Timur, adalah ayah dari dua anak dan kini menetap di Boyolali.

Saya sungguh surprise, bisa berbincang melalui telepon dengan Pak Itmamul Khuluq. Lelaki rendah hati dengan logat khas Jawa, yang sukses mengelola usaha peternakan telur puyuh. Obrolan berlangsung hangat dan penuh keakraban, campur-campur bahasa Jawa tentunya --- maklum sama-sama Jowo Timur, hehehe. Beberapa kali pria yang akrab disapa Pak Khuluq, melontakan joke segar yang menerbitkan tawa.

"Saya ini, keluarga Timur Tengah Pak" Ujar Pak Khuluq.

"Oo, gitu" jawab saya memendam penasaran.

"Maksudnya Saya dari Jawa Timur, Istri dari Jawa Tengah" sambungnya bercanda. Sejurus kemudian kami tertawa bersama, meski sedang berada di kota yang berbeda.

-0o0-

Khuluq kecil, berasal dari keluarga sederhana di Lamongan. Semenjak SMP sudah berlatih usaha, membantu ibunya berjualan tape keliling. Semua keadaan dipandang dari kacamata positif, sehingga sepanjang obrolan kami tak terdengar kalimat berkeluh kesah.

"Alhamdulillah, keadaan ekonomi orang tua justru memacu saya belajar dan bekerja giat. Selepas SMP saya pindah ke Jogjakarta masuk Pesantren dan SMA, itupun juga sambil berwirausaha" jelasnya

Khuluq muda mencari peluang, menjadi penjual kertas bekas ke pengepul. Kertas didapat dengan cara unik, jadi tidak harus selalu mencari kemana-mana (baca: jalanan).  Kepintarannya di beberapa bidang pelajaran, tak segan ditularkan pada teman sekelas yang minta diajari. Kebanyakan teman sekelas berasal dari keluarga berkecukupan, tak keberatan ketika buku-buku dan kertas yang tak terpakai diminta khuluq.

"Kadang satu teman, bisa memberi kertas sampai setengah kilo. Setelah dikumpulkan dan dijual, bisa mengantongi untung hingga tujuh ratus rupiah. Kala itu masa SMA, sepiring nasi di angkringan pinggir jalan Jogjakarta  seharga lima ratus rupiah" kenangnya.

Hasilnya penjualan kertas sangat membantu, Khuluq muda bisa memenuhi jatah makan siang. Sementara jatah makan pagi dan malam, sudah disediakan di Pondok Pesantren. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline