Pohon tumbuh di celah pagar (dokpri)
Alam semesta menghamparkan pelajaran tak berpenghabisan, melalui segenap peristiwa yang tak terperi. Alam menyediakan diri untuk kehidupan, memulai aneka peristiwa hadir silih berganti. Angin bertiup semilir membelai dedaunan, kicau burung menyemarakkan hari baru. Sinar pagi bersemburat kemerahan, pun lembayung senja melepas hari. Bahkan sekedar daun kering lepas dari dahan, atau kelopak bunga yang layu sebelum bermekaran. Semua adalah ibarat perumpamaan, penuh pembelajaran bagi yang mau berpikir.
Manusia dengan keistimewaan khusus, tak dimiliki oleh makhluk lain ciptaan-NYA. Otak dan akal pikirannya menjadi pembeda, sekaligus penyempurna keberadaan. Senjata istimewa inilah yang membentuknya, menjadi pemikir dan pengelola semesta raya. Dipercayakan alam ini pada manusia, agar makmur bagi kehidupan semua.
Manusia memiliki insting dan naluri luar biasa, agar bisa survive dalam kehidupan. Segala ujian kehidupan niscaya mampu dihadapi, sekaligus sanggup diselesaikan. Karena keyakinan yang terpatri di kalbu, bahwa ada kekuatan Maha Dahsyat di luar dirinya yang berperan. Manusia adalah pembelajar tak berpenghabisan, menjadikan semesta untuk berintrospkesi. Menguatkan diri sendiri, sehingga mengalir ketakterdugaan demi ketakterdugaan.
Sampai Prof Johanes Surya sang fisikawan, menumukan konsep Mestakung (Semesta mendukung). Iintinya manusia memiliki kekuatan yang muncul secara mendadak, saat berada pada posisi terdesak. Beliau mencontohkan dengan seorang yang takut dengan anjing. Ketika orang ini dikejar dan sampai pada jalan buntu berdinding, tiba tiba mampu melompati pembatas itu.
******
Lazimnya rumah di pinggir ibukota, tempat tinggal kami full bangunan. Tak ada ruang untuk taman, kecuali memakai pot bunga. Agar tak memakan ruang pinggir jalan, istri memanfaatkan pot gantung. Selain tak terlalu besar dan enteng, menghemat lahan dan teras jadi sejuk. Pagi ini sembari membersihkan lumut menempel di tembok, ada pemandangan yang lain dari yang lain. Membuat saya berpikir, dan memetik hikmah dari kejadian sangat sederhana.
dokpri
Sebuah pohon tumbuh di sela pagar semen, bahkan ketika saya coba mencabut cukup alot rasanya. Terbetik dalam benak perihal akar yang mencengkram, kemudian dari mana pohon kecil ini mendapat asupan makanan. Melihat ukuran dan kekokohan batang, bisa jadi tumbuh lebih dari sebulan dua bulan. Artinya sudah melampaui sekian waktu bertahan hidup, bahkan di tempat yang tidak semestinya. Secara logika makanan dari pohon hanya bisa didapati ditanah, tapi pohon kecil ini cukup ajaib.
Tiba tiba saja saya jadi malu dengan diri, yang cepat putus asa saat kekalahan menghampiri. Merasa dunia tak berpihak dan akrab, ketika hasil yang didapat (dianggap) tak sebanding dengan upaya yang dikerahkan. Cepat merasa menghakimi orang lain dan keadaan, ketika kekecewaan datang tak sesuai harapan. Serta banyak keluh kesah dan caci maki diumbar, saat orang lain nyata berbuat khianat dan pengingkaran.
Pagi ini pohon kecil di celah pagar semen, adalah pelajaran baru tentang kerelaan (baca; keikhlasan). Hidup di lahan yang tak semestinya, disuguhi tempat yang kerontang akan asupan. Namun buktinya masih bisa bertahan tumbuh, sampai sejauh yang dimampukan untuk hidup. Manusia makhluk mulia dan dimuliakan, kodratnya melebihi makhluk lainnya. Semestinya menggenggam kodrat sebagai khalifah, memakmurkan semesta raya dengan ketakterdugaan potensinya. Manusia tersemat tugas mulia, sehingga didudukkan dalam singgasanan kemuliaan oleh-NYA. Kita manusia musti tak henti belajar, agar memahami fungsi kehadiran. Kemakmuran atau kehancuran alam yang dihuni, tergantung bagaimana para manusia menjadi pengelola.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H