[caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="kompasianer- copas mbak Nyayu"][/caption]
Acara Nangkring Kompasiana sore ini sangat lain dari biasanya, posisi tempat duduk narasumber yang sejajar dengan peserta Nangkring, penataan kursi yang sporadis sesuka yang duduk ada yang tinggi bisa berputar dan ada yang kursi moel kampus dengan pegangan tangan melebar. Namun bukan masalah kursi dan posisi yang ingin saya angkat di tulisan ini, melainkan lebih ke suasananya yang penuh kekeluargaan sehingga Narsum (Nara Sumber) dan peserta menjadi menyatu, kesan acara "dari kita untuk kita" menjadi kental dan kentara. Sang Narsum bisa sewaktu-waktu mengambil air minum mineral atau snack yang ada di meja peserta, pun peserta yang mau bikin kopi di ujung depan tak perlu sungkan. Saya yang duduk di pojok meskipun datang telat tetap bisa bersapa dengan Mbak Iffani dan Mbak Weedy sambil memastikan beliau berdua yang janjian di Pulau Dewata dan putra-putri mereka yang terlihat akrab juga turut serta.
[caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="suasana nagkring- dok.pribadi"]
[/caption]
Acara inti dikemas dengan santai namun serius, celetukan dan tawa menyertai tanpa mengurangi esensi. Saat saya datang sekitar pukul 16.00 (telat 30 menit dari jadwal) Kang Peppi memberi ulasan yang membuka mata tentang dunia kepenulisan sekaligus penerbitan kemudian Pak Tamrin Sonata (TS) berbagai tips menerbitkan buku termasuk share soal plus-minusnya menerbitkan melalui penerbit mayor, sekaligus plus-minusnya menerbitkan secara indie. Beliau dengan pengalaman yang sudah malang melintang di dunia kepenulisan sangatlah tak segan berbagi ilmu mahal yang benar-benar nol bagi saya yang masih anak bawang, dampaknya bagi pribadi menjadi ter-influence dan terlecut semangat menulis saya. Pak Thamrin Dahlan (TD) duduk di tengah berbagi cerita tentang pengalamannya menerbitkan buku serta beliau mengutip kalimat super ajaib dari Buya Hamka "menulislah dan menulislah terus biarkan tulisanmu mengikuti takdirnya" termasuk perolehan dari tulisan (pengalaman atau finansial) itu adalah bagian dari takdir tulisan itu.
[caption id="attachment_353205" align="aligncenter" width="300" caption="suasana nangkring - dok.pribadi"]
[/caption]
Kisah nyata yang menginspirasi saya Pribadi adalah dua rekan Kompasianer yang sore itu me-launch buku terbaru. Beliau adalah Mas Rifki dengan judul "Cara Narsis Bisa Nulis" dan Mbak Maria seorang guru yang rendah hati untuk judul buku "Guru Plus". Melihat kedua buku menyala semangat saya dengan besar harap semoga bisa menyusul beliau berdua. Kedua buku ini lahir dengan latar belakang yang unik. Mas Rifki yang dulunya tidak bisa menulis mencoba membuat status di FB dan mendapat respon bertubi dari follower-nya juga pengalamannya tinggal di luar negeri membuatnya memiliki pengalaman yang tak ada di Indonesia. Berangkat dari situ tulisan demi tulisan mengalir, sementara Mbak Maria yang senang memberi kado buku kepada murid dan rekan dekat pada momentum tertentu berpikir betapa bahagia apabila buku yang dihadiahkan adalah buku tulisan sendiri.
UNIVERSITAS KOMPASIANA
Saya (lagi-lagi) merasa beruntung hadir di sore ini. Nangkring yang gayeng ini memberi suntikan semangat yang ampuh. Bertemu dengan senior di Kompasiana sekaligus mengenal lebih dekat. Mendapat trasferan ilmu yang luar biasa dan satu lagi merasakan suasana kekeluargaan yang hangat. Komunitas ini lebih dari sekedar komunitas, bahkan sudah seperti Universitas Kepenulisan bagi saya. Kang Peppi melontarkan pernyataan yang provokatif panjangkan usiamu dengan menulis, seketika pikiran saya terbang ke rak buku di rumah menelusuri buku karya dari Umar Kayam, Buya Hamka, Kahlil Gibran bahkan sampai Ibnu Kaldun, nama-nama yang masih terpahat dan saya kagumi pemikirannya meskipun jasadnya sudah tiada.
Saya teringat sebuah perumpamaan bijak bergaul dengan tukang parfum akan ikut harum bergaul dengan penjual minyak tanah akan beraroma seperti minyak, maka saya merasa tidak salah memilih berkumpul dengan rekan di forum yang luar biasa ini. Acara ditutup dengan foto session bahkan anak-anak yang ngikut tak segan turut bergaya. Untuk foto ini saya mohon ijin Mba Nyayu copas fotonya ya hehehehe (sumber).
Behind The Scine
Ketika pulang saya dan anak berada satu lift dengan Mbak Weedi dan Hiro Putranya dan Nisa putrinya yang jarak usianya tak terlalu jauh dengan anak saya. Si kecil Nisa yang cantik Putri Mbak Weedi beberapa kalimat berucap dalam bahasa Jepang yang (terus terang) saya gak tahu apa maksudnya, sampai akhirnya di lantai satu kami berpisah dan saling berpamitan. Mbak Weedi yang sedang cuti akan kembali ke Jepang beberapa hari ke depan. Menuju tempat Parkir anak saya lelaki saya berkomentar.
"Anak kecil perempuan tadi hebat ya Ayah," ujar anakku.
"Iya hebat," saya mengamini, "memang kenapa Nak?" saya penasaran.
"Masih kecil tapi ngomong Jepang-nya lancar," ujarnya polos.
"iya ya...., kamu juga hebat masih kecil bahasa Indonesiamu juga lancar," jawab saya menahan senyum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H