Lihat ke Halaman Asli

Agung Han

TERVERIFIKASI

Blogger Biasa

Lempeng, Krupuk Murah Tapi Tidak Murahan

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14110804701737684024

Membongkar laci ingatan masa silam seperti tak akan ada usainya, semua kisah yang telah tertoreh terkesan usang namun selalu manis apabila dikenang. Bagi kaum urban yang telah melanglang lama di tanah ratau baik di negri sendiri atau tanah seberang membalikkan ingatan tentang jejak perjalanan lampau adalah saat yang mencampur aduk perasaan. Haru dan aneka rasa yang tak terbahasakan biasanya akan lebih mendominasi. Kenakalan masa kanak yang menggelikan, kepolosan bersama sebaya yang menggemaskan, atau keusilan keusilan lain yang akhirnya menjadi pemakluman. Bahkan ketika ada kesempatan berbagi kisah dengan sahabat kecil yang telah panjang masa perpisahan semua akan menjadi bahan canda tiada habisnya. Kawan, lawan, sampai musuh bebuyutan akan menjadi lebur dalam keakraban ketika bersua setelah liku perjalanan kehidupan dilalui, setelah jumlah bilangan usia semakin bertambah dan meninggi.

Kampung halaman adalah tempat teramat spesial yang bersemayam di nubari, sedetil apapun remeh temeh yang dahulu sering dijumpa tiba tiba menghunjam perasaan kangen tak terperi ketika membayangkan. Pohon melinjo tempat ngumpet ketika ayah atau ibu marah, kebon tetangga tempat membuat base camp ketika merencanakan pertualangan kecil, atau sungai di perbatasan desa tempat mencari ikan dan berenang gaya batu. Siapa yang sanggup atau rela hati menanggalkan keindahan silam yang sudah terpatri menjadi nostalgi ? termasuk makanan sederhana yang sering hadir di meja makan. Apalagi setelah panjang rentang dan waktu makanan yang dulu sangat biasa, tiba tiba menjadi terasa istimewa saat ini. Sampai sampai setiap hendak pulang kampung sudah terjadwal rencana memuaskan diri dengan makanan cita rasa masa kecil yang lama tak didapati.

********

Pada beberapa waktu yang lalu saya sempat membongkar kekangenan dengan Tepo Tahu makanan khas Magetan dalam tulisan (Tepo Tahu Kuliner Bersahaja Tapi Ngangenin), tanpa dinyana di group facebook KOMPAG (Komunitas Perantau Asal Magetan) memposting link tulisan di kompasiana pada wall group FB. Tentu respon tersebut membungahkan hati saya, masing masing anggota saling berbagi informasi tepo tahu di beberapa tempat di Magetan termasuk membahas Mbah Sukini seorang nenek penjual tepo yang gambarnya sempat mejeng di HL Kompasiana. Respon ini terus terang membuat saya bersemangat untuk kembali mengangkat tulisan lain tentang keunikkan makanan khas kota kecil ini. Riset kecil kecilan segera saya lakukan dan sedikit interview by phone dengan ibu saya yang terbiasa membuat makanan khas ini membuat bahan tulisan saya terasa lengkap.

Krupuk khas Magetan yang dulu semasa kecil saya biasa mejeng di meja makan ini ternyata (lagi lagi) sangat jarang saya jumpai tanah perantauan. Lempeng (huruf "E" dieja seperti kalimat "Lempengan Logam") terbuat dari bahan yang sederhana. Biasanya ibu saya membuat krupuk khas ini dari nasi lebih atau tidak habis setelah makan malam berakhir, daripada di buang maka dimanfaatkan untuk membuat lempeng. Sementara kalau untuk home industri pasti nasi yang sengaja dimasak alias bukan sekedar nasi sisa makan malam. Pada tulisan ini saya akan mengulas kebiasaan ibu saya yang keesokan hari meratakan nasi di tampah untuk siap dijemur. Setalah digantang menghadang panas matahari dan nasi mulai mengering berikutnya hasil jemuran nasi direndam dalam air selama beberapa waktu sampai lemas, dan ditiriskan. Langkah berikutnya tirisan rendaman nasi dicampur dengan bleng kuning dan bleng putih ( bleng ini di Magetan sangat umum di jual di pasar pasar ) kemudian dicampur dengan garam. Langkah selanjutnya campuran rendaman nasi, bleng kuning, bleng putih dan garam di masak lagi, setelah matang dicocoh, atau ditumbuk pelan dengan alat kayu halus yang dilapisi plastik sampai halus. Hasil cocohan dibuat sampai butiran nasi menyatu dan menggumpal liat seperti ketan uli atau jadah (sebutan orang jawa timur untuk ketan yang sudah ditumbuk dan menyatu). Kemudian dibentuk persegi empat dan diiris tipis tipis. Irisan itu di tata pada anyaman bambu atau tempat penjemuran. Semakin panas matahari akan menghasilkan kualitas kering yang bagus.

14110805671625581469



Setelah irisan lempeng kering baru digoreng dengan minyak yang cukup di penggorengan. Saya pribadi lebih suka lempeng yang digoreng agak lama sehingga ada efek kegosong gosongan, lempeng siap menemani apapun makanan yang hendak disantap. Beberapa pedagang makanan ada yang berinovasi menawarkan pecel lempeng, biasanya lempeng dipotek potek kemudian diatasnya ditumpuk dengan sayuran khas pecel seperti bayam dan tauge bari ditaburi sambel kacang. Bagi anak kecil usia SD yang uang jajannya pas pasan sang pedagang mentoleransi dengan cara lempeng berbentuk kotak ditumpangi sedikit sayur bayam matang dan disiram sambal kacang. Masa saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar harga pecel lempeng hanya limabelas rupiah, sementara krupuk lempengnya saja lima rupiah. Update harga terbaru saat ini satu lempeng berkisar duaratus limapuluh rupiah tergantung besar kecilnya lempeng. "kriuk-kriuk" begitu bunyi lempeng apabila di kunyah. Tiba tiba saya merasakan betapa sesuatu yang istimewa tak harus mahal, terbukti makanan yang murah dan sederhana seperti lempeng ternyata juga bisa mendapat tempat tersendiri di hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline