[caption id="attachment_365030" align="aligncenter" width="644" caption="dokpri"][/caption]
Sejak "nyandu" nulis di Kompasiana rasanya sayang melewatkan sebuah moment kapapun dimanapun, tiba tiba apa yang dilihat apa yang dirasa dalam keseharian bisa menjadi sumber ide. Belajar dari banyak artikel rekan K-ers, saya teringat Pak Tjiptadinata Effendi yang pernah mengangkat tema sebuah email penipuan tentang harta warisan dalam Saya Baru Tahu Paman Saya Tinggalkan Warisan, reportase sederhana dari dapur rumah namun membuat saya berdecak kagum milik Bang Gapey Sandy dalam Beginilah Reportase Dari Dapur, kisah keseharian dalam Catatan Harian 0710014 milik Ibu Enny Soeparjono yang ringan namun menarik, tulisan Buat Keju Sendiri Yuk milik Mbak Fidiawati yang membuat saya memaksa istri mempraktekkan, puisi humor berjudul Kosong Sama Dengan Hampa milik Mas Ando Ajo yang endingnya membuat saya tersenyum atau perjalanan Pak Tubagus Encep berkereta mengantar sang belahan Jiwa ikut Kompasiana Nangkring dalam Saya Istri dan Kompasiana , ulasan rutin seorang motivator dari Hongkong Mbak Seneng Utami Rahasia Ampuh Melawan Ketakutan dan tentu artikel rekan K-ers lain yang tak mungkin saya sebutkan satu persatu.
Beberapa contoh yang saya sebutkan menguatkan keyakinan saya bahwa sekecil apapun yang ada di sekeliling diri adalah sumber inspirasi.Bisa melalui makanan, kegiatan kerjabakti RT, obrolan ringan di musholla, plastik bungkus tahu yang siap masuk tong sampah, keseharian buah hati, bahkan kejadian remeh temeh yang banyak terhampar di muka bumi adalah ide yang tak akan pernah ada habisnya. Tulisan tulisan setiap detik tersaji di laman Kompasiana adalah ide yang berhamburan dan tak ada matinya, alangkah dahsyatnya kehidupan ini. Berkaitan dengan ide demi ide, ketika sedang ada di perjalanan saya mencoba merangkum beberapa gambar yang secara pribadi mampu membangkitkan inspirasi sebagai anak manusia dalam menjemput rejeki.
*************
[caption id="attachment_365031" align="aligncenter" width="630" caption="dokpri"]
[/caption]
Siang yang terik ketika sedang mengendarai roda dua saya melihat sepasang suami istri melintas di jalanan yang panas, sang suami duduk di kursi roda didorong oleh istrinya dengan setianya. Di depan kursi roda dipasang kotak berisi dagangan makanan ringan dan sebuah kertas digantung bertulis "Jual Pulsa". Agar tak kepanasan dipasang payung diikat menjadi satu dengan sandaran kursi roda. Melihat semangat sang bapak dan kesetiaan istrinya tersentuh hati, dan merasa beruntungnya diri ini masih bisa berdiri tegak dan berjalan dengan gesit.
[caption id="attachment_365032" align="aligncenter" width="560" caption="dokpri"]
[/caption]
Pada hari yang sama tak lama setelah melewati pasangan suami istri, di sebuah perempatan ketika lampu lalu lintas sedang berwarna merah. Masih dari atas roda dua saya menyaksikan seorang lelaki muda duduk dikursi roda tepat dipinggir trotoar, dipangkuannya ada koran yang dijual. Getaran yang saya rasakan dari keberadaan lelaki ini adalah tak ingin berpangku tangan dan menunggu belas kasihan. Melihat wajah sang lelaki terlihat memiliki kebutuhan khusus, tiba tiba ada yang menyergap sebuah perasaan syukur bahwa diri masih bisa melakukan lebih dari lelaki di trotoar ini.
Pada kesempatan yang lain saat mengajak anak dan istri berkeliling menikmati udara pagi. Seorang bapak menceburkan diri ke dalam lumpur, dengan sebuah karung berbahan kain disangkutkan pinggang. Ketika saya dari pinggir sungai bertanya tentang yang dilakukan, dijawab sedang mencari cacing untuk dijual pada peternak ikan.
[caption id="attachment_365034" align="aligncenter" width="480" caption="dokpri"]
[/caption]
Di sebuah Situ atau danau buatan, seorang anak muda berada ditengah dengan jaring yang dilempar, anak muda ini sedang menjala ikan dan udang untuk dimakan bersama keluarganya. Ketika saya tanya apakah untuk dijual dengan sopan dijawab, "hasilnya tak terlalu banyak jadi lumayan buat lauk tak perlu belanja"
[caption id="attachment_365035" align="aligncenter" width="638" caption="dokpri"]
[/caption]
Inspirasi demi inspirasi terus berseliweran di sekeliling kita, suatu pagi terlihat bapak dan ibu penyapu jalanan, yang mengetuk hati dan lagi lagi mengucap rasa syukur ibu saya sampai usianya yang sudah sepuh dan almarhum ayah saya tak sampai dijalanan untuk menafkahi kami anak anaknya.
[caption id="attachment_365036" align="aligncenter" width="583" caption="dokpri"]
[/caption]
Tukang las keliling dengan gerobak yang didorong memutari sebuah perumahan elit, dengan santainya beristirahat dibawah pohon rimbun dipinggir jalan.
[caption id="attachment_365037" align="aligncenter" width="618" caption="dokpri"]
[/caption]
Pekerja proyek pengecoran jalan, yang harus berpanas panas bergelut dengan pasir dan semen demi menyambung hidup bersama istri dan anak anaknya.
[caption id="attachment_365038" align="aligncenter" width="585" caption="dokpri"]
[/caption]
Seorang bapak muda dengan mesin jahit tangan yang ditumpang pada boncengan sepeda roda dua, dengan tekun mencari konsumen yang memiliki baju atau celana yang lepas jahitannya.
[caption id="attachment_365039" align="aligncenter" width="552" caption="dokpri"]
[/caption]
Tukang sampah yang harus siap mulai dini hari dengan truk yang penuh dengan bau tak sedap.
Dari hati kecil terdalam saya sungguh mengagumi bapak bapak dan ibu yang saya abadikan gambarnya dengan "candid". Mereka adalah sumber inspirasi (setidaknya bagi penulis) tentang bagaimana harus bertahan hidup dan semangat untuk berjuang menggapai harapan. Kerasnya jalanan menjadi keseharian sekaligus menjadi bagian dari kehidupan itu sendiri. Semoga kehidupan di dunia yang sementara ini menghantarkan kepada kebahagiaan yang sejati. Doa dan harapan yang sama tak ketinggalan teruntuk rekan Kompasianers di forum yang mulia ini. Semoga jalinan pertemanan di dumay yang luar biasa ini senantiasa beriring kesehatan dan kebahagiaan , tak putus mendermakan ilmu dan energi untuk kebaikan dan kemanfaatan. Amin...