Lihat ke Halaman Asli

Agung Han

TERVERIFIKASI

Blogger Biasa

Goresan Luka di Kaki Ibu

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14146169661829111147

[caption id="attachment_370476" align="aligncenter" width="553" caption="dokpri"][/caption]

Suara bising berbaur debu dan terik membuat kepenatan semakin sempurna, langkah perempuan tua itu tak surut sedikitpun. Leee....Hanafi…., ibu sekarang sudah di terminal Ngawi….. besok jemput di Lebak bulus yoo…”suara tua sang ibu terdengar bersemangat.

“nggihhh…buk…ati ati…” jawab Hanafi dengan nada gembira.

Bu Musri perempuan hampir tujuhpuluh tahun, siang itu berniat ke rumah bungsunya.Kebiasaan mengunjungi anak cucu dijalani secara berkala, bersama Pak Sukamad sang suami. Kini setelah sang suami berpulang, rutinitas itu dilakoni sendiri.

“buu...kalau pergi jangan sendiri,ajak siapa gituHanafimengkawatirkan

Aku berani pergi sendiri kok Hanafi....., hatiku kalau sdah kangen sama cucu gak bisa ditahanSanggahsang ibu.

Hanafi diam tak mau berbantah, menyadari kemauan keras sang ibu. Enam anak bu Musri sudah berkeluarga, sulung dan nomor empat berada di kampung menemani sang ibu. Anaknomor dua di Surabaya, ketiga di Bandung, kelima di Semarang sementara Hanafi di Tangerang.Sebagai nenek ibu sangat perhatian kepada cucu cucunya.“kalau rindu itu datang, wajah cucuku nempel terusss dimata…” ungkap sang ibu suatu saat.

*******

Keluarga Pak Sukamad dan bu Musri adalah keluarga kebanyakan, enam anak hadir sebagai buah cinta mereka. Bukan tanpa alasan memiliki setengah lusin anak, tiga anak berturut turut berjenis kelamin laki laki. Keinginan memiliki anak perempuan tak surut, sampai anak keenam takdir tetap mempersembahkan jagoan lagi.

“anak anakmu itu seperti Pandowo limo, lebih satu” canda sang mertua.

Pasangan suami istri itu tersenyum kecut mendengar celetukkan ayahnya, setelah Hanafi lahir berdua sepakat tidak menambah momongan.

“sudah ga usah sedih, nanti mantu kita kan perempuan..” hibur sang suami.

Hidup dengan enam anak perlu perjuangan yang tidak ringan, penghasilan Pak Sukamad sebagai guru SD tak bisa memenuhi kebutuhan secara maksimal. Ibu membantu keuangan keluarga dengan berdagang sembako di pasar desa.Pertengahan tahun 1980an adalah masa prihatin, ikat pinggang musti ditarik lebih kencang. Pernah dalam tahun yang sama si sulung lulus SPG (Sekolah Pendidikan Guru) sederajad SMA, anak ketiga lulus SMP, anak ke lima lulus SD. Tiga anak hendak melanjutkan sekolah, beban berat disandang pasangan muda ini.

Sejak awal pernikahan bu Musri bertekad, akan menyekolahkan anak anaknya sampai sarjana. Keinginan kuat itu sebenarnya sebagai “balas dendam”,saat lulus SD sang ayah tidak mengabulkan keinginannya melanjutkan sekolah.

******

[caption id="attachment_370477" align="aligncenter" width="424" caption="dokpri"]

1414617037357531166

[/caption]

Selama perjalanan bus patas eksekutif berhenti di beberapa pool, Hanafi rutin memantau melaui telepon. Sekiranya perjalanan lancar, menjelang subuh bus sudah masuk tol Cikampek. Pagi itu jarum pendek masih di angka lima, handphone Hanafi berdering.

“Han….kira kira setengah jam lagi aku sampai Lebak Bulus ujar sang ibu dengan intonasi lelah.“nggih buk…. Saya berangkatsekarang” balasnya sopan.

Hanafi mencari taxi langganan menuju terminal Lebak Bulus, sulungnya tak mau ketinggalan. Tak sampai lima belas menit menunggu, bus yang di nanti dari Magetan datang. Hanafimengawasi dengan seksama, seorang perempuan terlihat melambai tangan dari balik jendela kaca.Nampak sosok perempuan sepuh yang sangat dikenalnya, raut bahagia menghiasi wajahnya. Senyum ibu mekar berbaur kelelahan, namun garis bahagia sanggup menutupi. Sepanjang perjalanan menuju rumah, cerita terus mengalir. Hanafi dengan seksama mendengakan, sang cucu bertanya apa saja di sela cerita mbahnya. Kehangatan begitu terasa, hingga tiba di rumah. “wis….kamu siap siap berangkat kerja sana..!, aku tak istirahat dulu” ujar sang ibu sesaat setelah sampai rumah.

Kesibukan pagi di keluarga kecil dimulai, setelah sarapan Hanafi bersiap berangkat ke kantor sambil mengantar sulungnya sekolah. Kegiatan kembali berjalan normal,sang istri membereskan rumah, pergi ke tukang sayur dan memasak. Dua kardus tanggung oleh oleh ibu dibuka, makanan khas dibawa sang ibu. Jumat ini Hanafi mohon ijin pulang lebih cepat, setelah meeting di daerah Jagakarsa tak balik kantor. Pukul 16.30 Hanafi sampai di depan rumah, dua anak sudah hapal dengan bunyi mesin berlari ke teras menyambut sang ayah. Mbah yang sudah puas beristirahat terlihat duduk di teras, tersenyum melihat polah tingkah cucunya.

Jumat malam ini Hanafi bersama rombongan berjalan jalan, bersama ibu makan di food court sebuah Mall, kemudian anak anak bermain di pusat permainan. Usia tak muda membuat rasa lelah cepat hinggap, wajah ibu mulai kecapekan. Karena iba melihat sang ibu, Hanafi berinisiatif pulang.

“dipijati nggih buk…”tawar Hanafi sesampai di rumah.

“iya…Han... kakiku pegel.Sang ibu menyetujui

Keriput tampak menghiasi kaki tua itu, Hanafi mencerna setiap pijtan dengan penuh perasaan “kaki ini yang menghantar keenam anaknya menempuh kehidupan sampai kini” gumamnya dalam hati . Pijatan pelan itu sampai bagian tumit, garis lengkung sepanjang lebih kurang lima cm warna kecoklatan mulai pudar.

Tiba tiba ingatan Hanafi seperti mundur, menyusuri masa yang terlewati. Pertengahan 80-an ketika tiga anak dinyatakan lulus, senin pagi usai semalam hujan mengguyur bumi. Sulungnya hendak mendaftar di Perguruan Tinggi, nomor tiga mandaftar SMA, anak ke lima masuk SMP. Betapa pusing pasangan suami istri pagi itu, ibu berinisiatif ke tetangga mencari pinjaman.

“bapak berangkat ngajar saja,ibu ke rumah bu Kusnadi cari pinjaman” ujar sang ibu pagi itu.

"Ya wis kalau begitu maunya" sang ayah menyetujui

Usai sarapan siap disajikan di meja, ibu bergegas menuju rumah bercat hijau pupus. “Bu… mohon maaff…. anak saya juga waktunya bayar sekolah” tolak Bu Kusnadi sopan.

Ibu memaklumi segera mohon pamit, satu tempat akan dicoba lagi adalah rumah Bu Aminah. Untukmemotong jalan agar segera sampai, dilompati parit yang menghubungkan kebon belakang rumah yang dituju. Entah karena perhitungan yang meleset atau karena pikiran, kaki ibu menginjak rumput basah dipinggir kebun. Tanah yang masih gembur membuat pijakan ibu tak kuat, alhasil kaki ibu terpeleset masuk ke parit sedalam tak sampai satu meter.

Tumit kaki disambut pecahan gelas di dalam lumpur parit, darah segar mengalir cukup deras. Dengantertatih ibu memaksa diri ke rumah bu Aminah, hasilnya tetap nihil. Kegagalan mencari pinjaman ditebus dengan luka di tumit sebelah kanan.

“bayarnya minggu depan saja ya lee….duitnya pasti sudah ibu siapkan.” ibu mencoba membesarkan hati anak anaknya

Hanafi melihat tumit ibu diikat sobekan kain, “kena apa buk kakinya?” Tanya si bungsu penasaran.“tadi waktu ngiris buncis pisaunya jatuh kena tumit jawab ibu tak mengaku.

Cerita terplesetnya ibu justru didengar dari lek Sarju, tetangga penjual gorengan yang pagi itu memergoki saat hendak ke pasar. Ibu tak pernah membuka sedikitpun kisah pagi itu, seolah tak boleh ada yang tahu selain  dia sendiri.

Kini masa telah sedemikian jauh melesat, bekas goresan luka sudah memudar. Cerita dibalik luka tak pernah tersampaikan bahkan sampai kini, mungkin ibu ingin menyimpan pedihnya sendiri. Rasa bakti dan sayang Hanafi semakin membumbung, tak ingin rasa menoreh luka di hati ibu seperti goresan di tumit.

"wis Han....kakiku sudah enakkan" ibu membuyarkan perenungan.

--0OO0-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline