Lihat ke Halaman Asli

Agung Han

TERVERIFIKASI

Blogger Biasa

"Cara Narcis Bisa Nulis" dari Kang Rifki F

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14149190781545077673

[caption id="attachment_371420" align="aligncenter" width="603" caption="dokpri"][/caption]

Memiliki teman di Kompasiana bagi saya adalah anugrah, apalagi yang bisa mengganti atau paling tidak menyamai sebuah pertemanan. Seorang bijak pernah bertutur, satu lawan terasa banyak seribu teman terasa kurang menjadi benar adanya. Banyak teman membuat dunia terasa dekat, kemana pergi ada teman di tempat tujuan. Tapi yang lebih utama adalah menjaga, agar pertemanan bisa berlangsung dengan baik. Enam bulan berkompasiana saya barengi aktif nangkring, membuat saya mulai saling mengenal nama demi nama Kompasianer. Meski tak intens bertemu atau kenal secara akrab, tetapi interaksi yang pernah terjalin meski sesaat tetaplah meninggalkan kesan.

[caption id="attachment_371421" align="aligncenter" width="616" caption="mbak Agatha, ibu Lis, Mbak Maria M, Bu Ngesti, Kang Rifki, Bang Gapey S, (penulis), Mas Dzul."]

1414919114245135623

[/caption]

Pada sebuah kesempatan saya diajak Bang Gapey Sandy kopdar, karena tempat janjian tak terlalu jauh dengan rumah saya maka berniatlah menyanggupi. Pada hari yang diagendakan saya kosongkan rencana, kecuali datang ke acara kopdar. Di kediaman Kang Rifki Feriandi kami bersua, rak menjulang melebihi tinggi saya berhimpit dengan dinding. Penuh dengan aneka judul buku, bersebelahan kursi empuk tempat untuk membaca. Pada kesempatan itu saya beruntung mendapat hadiah dari tuan rumah, sebuah buku dengan cover dominan warna biru. "Cara Narcis Bisa Nulis" sebuah judulbuku yang ditulis Kang Rifki Feriandi, akhirnya saya bawa saat pamit pulang. Lengkap dengan tanda tangan, plus kalimat penyemangat bagi saya.

**********

[caption id="attachment_371423" align="aligncenter" width="573" caption="buku plus ttd penulis"]

14149192742145473881

[/caption]

Menyusuri halaman per halaman buku ini, emosi saya diajak naik turun, haru dan bungah. Susunan buku dibuat bab per bab mengulas dalam satu sudut pandang, semua berkaitan dengan dunia tulis menulis. Meski Kang Rifki mengaku sebagai penulis pemula, tetapi gaya tulisannya tetaplah mampu memukau pembaca. Background hobi membaca tentu memberi pengaruh besar, pada keluasan pengetahuan dan menyusun kalimat. Tak ketinggalan pengalaman berdiaspora menjadi refensi, bagaimana suka duka hidup tanah orang.

Ajakan menulis pada sub judul "Menulis Nyoook", "Pecahkan Kebekuan Menulis", seperti memberi amunisi pada penulis yang belum berani menulis. Bab kedua pembaca diajak meluruskan niat dalam menulis, tendensi (hakiki) menulis tak ada yang lebih mulia kecuali demi kemanfaatan. Bukankah "khairunnas Anfauhum Linnas" sebaik baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya. Ada juga tips menemukan ide, menggalinya, menentukan Topik, apresiasi dan berkompasiana.

Secara keseluruhan pada artikel pada bab I sampai IX mengalir dengan runut dan ringan, mudah dicerna dan dipahami. Beberapa kali saya dibuat tersenyum, berpikir dan manggut manggut setuju.

Pada 2 bab terakhir sungguh mengguncang emosi saya,3 artikel berhasil membuat mata saya berembun. Pernyataan Kang Rifki sebagai anggota PBB (Pria Baik Baik) semula ingin saya buktikan, namun setelah membaca beberapa tulisan saya mulai menyepakati.

*******

TENTANG IBU

[caption id="attachment_371424" align="aligncenter" width="634" caption="atikel tentang ibu"]

14149193241499848753

[/caption]

Pada Sub Judul "Behentilah Menulis Anakku" dihalaman 153, menunjukkan seperti apa diri Kang Rifky, (semoga saya tak melebih lebihkan) beliau seorang anak yang sangat sayang dan patuh pada ibunda. Pada dialog imanjiner yang terjadi saat malam mulai meninggi, secara sekilas digambarkan fisik sang ibu,, kebiasaan memanggil "Iki" dan mengusap rambut bungsunya. Petuah sang mamam panggilan akrab ibunda, untuk menjalankan sholat malam dan petuah agar mejadi seperti Iki yang dulu sungguh membuat hati terenyuh. Ah....saya jadi kangennnn dengan ibu saya di kampung, meski rutin saya menelpon gara gara artikel ini saya tak sabar menghubungi beliau kembali.

Artikel "Welcome To The Club" sebuah refleksi tentang usia "matang", biasanya dikaitkan dengan usia empat puluh tahun. Satu lagi pada artikel pamungkas "Bu Minah dan Refleksi Kasih Ibu Tak Berujung", adalah dua artikel pada Bab XI. "ulah" dua artikel ini sama dengan satu artikel di halaman 153, membuat saya musti mengusap sudut mata ini. Saya mendadak sedemikian cengeng, ketika bu Minah membopong anaknya kemana mana. Si anak yang kakinya kurus ternyata sudah berusia 18 tahun, saya dibuat bergetar membacanya. Sambil bertanya "hati ibu ini terbuat dari apa? Sebegitu nrimo dan tak terbatas sabarnya.

Setiap membincang tentang ibu saya tak berani menjamin diri, sanggup menahan lebih lama untuk tidak berkaca kaca. Betapa mulia kedudukan seorang ibu, sampai rasulullah manusia sempurna itu, menempatkan ibu 3 tingkat lebih tinggi dari pada ayah.

Sajian Buku yang apik ini disematkan sebuah kata pengantar dari seorang tokoh pendidik, Prof Arief Rahman salah satu nama yang masuk daftar "idola" . Satu nama berperan sebagai editor kebetulan saya mengenal, Kompasianer aktif  dan beliau pribadi yang hangat dan humble Bapak Thamrin Sonata (TS). Membuat kehadiran buku ini sangatlah menarik minat untuk membaca, jangan sampai  terlewat satu lembarpun.

[caption id="attachment_371425" align="aligncenter" width="378" caption="cover buku"]

14149193771913461593

[/caption]

Di akhir tulisan saya ingin menyampaikan "Hatur Nuhun" (sok Sunda heheee)buat Kang Rifki, atas kado istimewa yang tak ternilai harganya. Mohon maaf saya terlambat menyelesaikan membaca, untuk segera membalasnya dengan tulisan ini. Karena kebiasaan saya sebelum membuka buku baru, saya punya kewajiban menyelesaikan buku yang lebih dulu saya buka. Semoga kemanfaatan yang tersebar dari buku ini, mengaitkan semua nama yang terlibat dalam buku ini. Tak terlewat doa semoga amal atas inspirasi dari buku ini, menjadi pundi amal, untuk memperlancar langkah menyusuri Siratalmustaqim di hari perhitungan kelak (aminnn).

Mari terus berlomba berbuat kebaikan, ijinkan saya cuplikkan satu satu kata dari puisi Emha Ainun nadjib. Sebuah puisinya "Doa Pesakitan"di buku Seribu Masjid Satu Jumlahnya.

" Tak ada apa apa yang lebih penting dalam hidup yang Cuma sejenak ini, kecuali berlomba berlari untuk melihat telapak kaki siapa yang lebih dulu menginjak halaman rumah-MU ".

Sekali lagi Hatur Nuhun Kang Rifki

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline