Sebagian perselisihan dan konflik antarkelompok atau orang lain (karena perbedaan budaya, suku, agama, atau paham agama) juga tak jarang terjadi di negara kita ini. Seperti yang terjadi beberapa decade terakhir ini. Ironisnya, meskipun pada abad ke-21 ini, teknologi komunikasi semakin canggih, khususnya internet dan media sosial. Namun, hal itu tidaklah otomatis membuat komunikasi kita dengan kelompok lain atau orang lain semakin efektif. Dalam banyak kasus, teknologi komunikasi telah membuat komunikasi kita dengan orang lain semakin rumit, maksudnya adalah tak jarang ditandai dengan perselisihan, konflik, kebencian, hoax dan fitnah.
Sebagai contoh kasus seorang perempuan bersuku Batak pada tahun 2014. Mahasiswa S2 sebuah universitas di Yogyakarta itu dirisak warga kota Gudeg melalui media sosial setelah ia menghina warga Yogyakarta lewat postingannya di suatu media sosial setelah ia ditegur petugas SPBU Yogyakarta karena ia tidak mau antre untuk membeli Pertamax.
Kemudian konflik antarpribadi juga sering terjadi gara-gara bertukar kata-kata via WA (whatsapp) yang dimana maknanya kehilangan konteks (bahasa nonverbal). Seperti contoh, dalam sebuah grup WA sekolah Islam seorang siswa bernama Abdul mengirim pesan untuk mengadakan program puasa senin kamis selama satu bulan. Kemudian Junot merupakan salah satu siswa di grup tersebut membalas "Ah, kamu mah jangan terlalu alim kenapa". Padahal Junot hanya bermaksud bercanda kepada Abdul. Dan tanpa disadari balasan tersebut menyinggung Abdul. Coba kalau komentar tersebut disampaikan secara tatap muka, dengan intonasi biasa dan ekspresi lucu, maka Abdul mengerti kalau Junot hanya bercanda.
Komunikasi melalui media sosial juga bisa menciptakan ketertarikan dan keintiman semu. Kita boleh saja tertarik pada seseorang lewat foto dan profilnya. Namun, pada saat bertemu ternyata tidak sesuai bahkan bisa juga beda orang dan hal itu membuat kita kecewa karena merasa dibohongi. Sehingga terkadang media sosial menimbulkan kesan ketertarikan yang kuat dengan pengguna lain (meski sebagai ilusi).
Para peneliti menemukan bahwa Facebook sering digunakan untuk pencitraan diri seseorang dengan berbagai taktik, antara lain dengan menampilkan foto terbaiknya, sehingga tak jarang juga yang ditampilkan itu semu (melalui proses editing).
Dalam dunia politik, media sosial juga digunakan sebagian oknum untuk memunculkan kelompok-kelompok politik dan para pengikutnya, seperti kelompok pendukung Prabowo Subianto dan kelompok pendukung Jokowi yang bersaing bahkan saling bermusuhan. Kedua kelompok ini di negara kita tumbuh sejak Pemilihan Presiden 2014 dan melewati Pemilihan Presiden 2019 terus berselisih, saling memojokkan, dan saling serang, bahkan sering menggunakan kebohongan dan muncul fitnah.
Maka berdasarkan berbagai kasus di atas dapat disimpulkan bahwa kemahiran menggunakan teknologi canggih, termasuk media sosial di dalamnya tidak dengan sendirinya membuat penggunanya mampu berkomunikasi secara efektif saat berkomunikasi dengan orang lain sehingga kita perlu bijak dan kontrol diri dalam menggunakan media sosial kita. Dan bila memungkinkan, maka dibutuhkan obrolan secara langsung tatap muka, yang ditandai dengan empati, pertemanan, dan bila mungkin kerja sama yang saling menguntungkan. Bahkan untuk bisa sukses di era industri 4.0 dibutuhkan lima ketrampilan, yaitu berpikir kritis, kreativitas, kemampuan menyelesaikan masalah yang kompleks, manajemen tim, dan ketrampilan negosiasi.
Terima kasih, semoga bermanfaat. Dukung terus penulis agar bisa membuat karya tulisan yang lebih banyak lagi. God bless you :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H