Lihat ke Halaman Asli

Arti Hidup

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Piip... Thank you.

Kulirik jam yang tertera pada mesin kehadiran, pukul 9.37. Ini sudah yang ketiga kalinya—secara berturut-turut—aku datang terlambat ke kantor. Dan benar seperti dugaanku, begitu aku memasuki ruang kerja, teman-teman mempertanyakan soal keterlambatanku. Orang yang selalu datang paling pagi kenapa bisa terlambat secara tiga hari berturut-turut? Setiap pertanyaan yang dilontarkan padaku hanya kujawab sekenanya saja karena aku langsung membuka laptop dan berusaha menyelesaikan pekerjaanku.

Entah sudah berapa menit kedua tanganku tak bergerak di atas papan ketik laptopku. Sejak tadi pikiranku melayang entah ke mana. Aku tak ingat apa yang kupikirkan sejak tadi hingga aku bergeming tak melakukan apa-apa. Rasanya sepi. Ada sesuatu yang hilang.

“Hei, Tania, bicaralah sesuatu,” kataku pelan sambil menolehkan kepala ke meja di sebelah kiriku. Meja itu kosong. Sedetik kemudian aku baru tersadar bahwa Tania—sahabatku—yang selalu duduk bersebelahan denganku sudah tidak lagi berada di kantor akuntan publik ini. Kini aku merasa sangat kesepian.

“Kau mau sampai kapan galau terus?” tanya salah seorang rekan kerjaku sambil melingkarkan lengannya di leherku.

“Aku baik-baik saja kok,” jawabku singkat tanpa mengalihkan pandanganku dari layar laptop, tapi mataku pun tak sepenuhnya menatap ke layar. Tatapanku bisa dibilang sedang kosong.

“Tak usah ditutup-tutupi juga semua orang di kantor ini juga tahu kalau kau selama ini jatuh cinta pada Tania. Iya kan?” Aku diam dan tak menjawab, namun bahasa tubuhku membenarkan pernyataannya tadi. “Sudahlah. Ayo, bersemangat. Masih banyak ikan di laut sana.” Memangnya kaupikir aku bisa menikahi ikan? Aku bertanya sendiri di dalam hati. Aku kembali mencoba fokus pada pekerjaanku di depan laptop. Mau sedang galau atau tidak, kerjaan ini harus segera selesai.

“Nah, kalau yang ini Iqbal dan Rio.”

Seorang pegawai HRD tiba-tiba berdiri di hadapan kami, bersama dengan seorang perempuan pendek berkerudung abu-abu.

“Iqbal, Rio, perkenalkan, ini Tiara, anak magang yang baru masuk hari ini.” Perempuan itu memperkenalkan dirinya, namun aku tak begitu memedulikannya. Aku pribadi tak begitu suka dengan anak magang. Kebanyakan dari mereka hanya membantu sebentar saja—paling lama tiga bulan, pemalas, mudah mengeluh, terlalu banyak bertanya, selalu ingin pulang cepat dan tak bisa diajak lembur, dan yang terpenting adalah belum tahu cara menjaga sikap. Alhasil, bukannya terbantu, malah pekerjaanku jadi terhambat.

“Karena meja yang kosong hanya di sini, kamu duduk di sini saja ya.”

Aku mengerutkan kening ketika mendengar orang HRD itu dengan mudahnya memberikan meja Tania kepada anak magang ini. Semoga saja anak bernama Tiara ini tak menggangguku. Aku memasang earphone di kedua telingaku dan mulai mengutak-atik kertas kerjaku.

“Kak... Kak Rio....”

Aku melepas earphone yang terpasang di telinga kiriku dan bertanya, “Ya, ada apa?”

“Sekarang aku berbuat apa ya? Apa ada yang bisa kukerjakan?”

Aku membuka laci meja dan mengeluarkan sebuah buku tebal berkover putih yang dijilid spiral. “Untuk sementara kamu baca-baca saja manual audit ini sampai dapat penugasan dari supervisor.”

Kira-kira tidak sampai setengah jam anak magang itu menyerah membolak-balik buku manual audit dan mulai mendengus di atas meja.

“Kamu bawa laptop? Dibuka saja,” kataku pada Tiara yang mulai kelihatan bosan.

“Kak Rio, biasanya berapa lama orang baru dapat penugasan?” tanyanya sambil menyalakan laptop.

“Itu tergantung,” jawabku. “Pokoknya tunggu saja. Nikmati masa-masa santaimu, sebelum datang masa-masa sibukmu.” Aku teringat pada kalimat yang diucapkan Tania di saat aku mulai mengeluh karena belum ada lagi penugasan berikutnya. Dan tampaknya aku akan segera bersantai lagi karena sebelum jam istirahat pekerjaanku sudah selesai.

Lalu apa yang harus kulakukan sekarang?

Diam tak melakukan apa-apa hanya akan membuat pikiranku goyah kembali. Aku butuh kesibukan agar bisa melupakan semua kegalauan pikiran ini. Kubuka halaman mesin pencari melalui browser di laptopku dan mencari bahan-bahan untuk kupelajari, mulai dari berita-berita terkait ekonomi, perkembangan standar akuntansi keuangan, dan lain-lain yang berkaitan dengan pekerjaanku. Namun sayangnya niat belajarku tak dapat bertahan lebih dari lima belas menit. Aku merasa bosan dan lagu yang diputar dari laptopku ini sangat mendukung sekali untuk tidak bersemangat di hari ini. Kenapa pula laptopku isinya lagu sedih-sedih semua? Aku mengutuki koleksi laguku yang berimbas pada diri ini yang kembali termenung karena pikiran yang tidak keruan.

Aku bersandar pada kursiku, dengan kepala yang menengadah ke langit-langit, aku menutup mata, membiarkan melodi yang mengalun dari earphone di kedua telingaku ini meresap ke seluruh jiwaku hari ini. Perlahan, aku merasa lemas dan merasa ingin menangis karena memori-memori manis yang melintas di benakku.

Lamunanku buyar ketika Tiara, si anak magang baru itu, menggoyangkan kursiku dan berkata, “Kak Rio, dipanggil Pak Supervisor tuh.”

Aku beranjak dari kursiku dan menemui supervisorku yang sedang sibuk dengan laptopnya. “Minggu depan kamu jadi ke Bali ya,” ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya. “Cuma klien NGO kok. Prosedur auditnya tidak banyak. Sebentar lagi saya kirimkan laporan keuangan dan buku besar klien.”

Jujur saja aku senang mendapat penugasan baru. Artinya aku bisa mengalihkan pikiranku untuk sesuatu yang lebih berguna ketimbang mengingat masa lalu dan membayangkan sesuatu yang tak mungkin terjadi. Tapi... entah kenapa aku ragu, aku pun tak mengerti kenapa.

“Tapi, Pak. Kenapa harus saya? Saya tidak yakin bisa mengerjakannya.”

“Yang lain masih sibuk,” jawabnya. “Dan saya rasa kamu butuh liburan. Setelah ditinggal pergi oleh orang yang dicintai karena dia menikah dengan orang lain pasti sakit rasanya. Maka dari itu kau kukirim ke Bali buat liburan.” Sial, ternyata benar apa yang dikatakan Iqbal barusan. “Oh, iya kaubawa saja si Tiara itu.”

Satu tim dengan anak magang itu? Aku jadi teringat waktu tahun lalu ada juga anak magang yang menjadi asistenku dan hasil pekerjaannya sangatlah kacau. “Pak, apa tidak bisa ditukar dengan yang lain?”

“Kan tadi sudah saya bilang, yang lain masih pada sibuk.” Dengan pasrah aku membalikkan badan dan kembali ke meja kerjaku. “Jangan lupa oleh-oleh ya!”

Aku membanting badan ke sandaran kursi yang kemudian membuat Tiara bertanya-tanya. “Ada apa sih, Kak Rio?”

“Minggu depan kita pergi ke Bali,” jawabku singkat yang disusul dengan teriakan kaget dari Tiara.

~ *** ~

“Kak Rio!”

Aku tengah membuka sebuah akun sosial media di ponsel pintarku saat Tiara berteriak memanggil namaku sambil menarik koper hitamnya dan melambaikan tangan ke arahku. Perempuan berjaket abu-abu yang sepadan dengan warna kerudungnya itu berlari pelan menuju ke arahku.

“Ih, Kak Rio bawaannya cuma satu tas ransel ini saja? Memangnya muat? Kita di Bali dua minggu kan?” tanyanya dengan wajah yang keheranan. Jelas saja ia kaget. Tiara menggendong satu tas ransel kecil di samping membawa koper besar, sementara aku tak membawa tas tambahan selain ransel yang kugendong ini.

“Cukup. Sudah, jangan banyak tanya, ayo kita ­check-in. Format KKP yang kuberikan kemarin sudah disiapkan?”

“Beres!” jawabnya dengan penuh semangat. “Kak, nanti mungkin saya bakal sering tanya, tolong dibantu ya.” Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kecil dan ia pun kembali diam.

Dalam waktu—kurang lebih—dua jam perjalanan dengan pesawat, kami tiba di Bandar Udara Internasional Ngurah Rai, dijemput oleh klien dan langsung diantar ke kantor.

“Nah, itu semua dokumennya, vouching-nya kita bagi dua ya,” kataku sambil membagi sejumlah dokumen yang harus diperiksa.

“Kak Rio...,” panggil Tiara sembari membaca-baca sepintas dokumen bagiannya. “‘Vouching’ itu apa ya? Bisa berikan contoh?”

Apa? Dia tidak tahu “vouching”? Dia anak magang terburuk yang pernah kutemui. “Kau ini bagaimana sih, istilah ‘vouching’ saja tidak tahu? Kamu cek dokumennya, masukkan saja atribut-atribut di dokumen itu sesuai dengan tabel vouching yang sudah kamu siapkan kemarin. Nanti kalau ada perbedaan dan semacamnya, tulis yang lengkap di kolom keterangan.”

Tiara agak menunduk. Dengan suara yang pelan, ia berkata, “Maaf deh, Kak, tapi tidak usah membentak begitu. Santailah sedikit.”

Bersantailah sedikit...

Tiba-tiba suara Tania melintas di kepalaku dan badanku mulai terasa lemas lagi. Aku beranjak ke toilet hanya untuk sekadar mencuci muka untuk menjernihkan pikiran. Kulihat bayangan wajahku di cermin. Terlihat pucat. Oh, ayolah, kau harus membaik, Rio, kataku dalam hati.

Aku berjalan kembali memasuki ruangan yang menjadi tempat kerjaku untuk dua minggu ke depan. Kulihat Tiara sibuk membolak-balikkan dokumen yang cukup tebal itu.

“Hei, anak magang, bagaimana, sudah bisa vouching-nya?”

“Sebentar, Kak. Ini saya masih meraba-raba. Tolong harap maklum ya, ini pertama kalinya saya vouching,” jawabnya. Aku pun juga mengambil satu dari tumpukan dokumen yang harus kuperiksa. Setelah beberapa menit tak ada suara di antara kami, Tiara bersuara, “Kak Rio, kok mukanya serius banget begitu sih? Senyum sedikit dong.”

“Senyumku itu mahal, tahu?” jawabku singkat. Ada jeda beberapa menit sampai Tiara bersuara kembali.

“Kak Rio, kok Kakak diam terus sih? Bicaralah sesuatu, temani saya mengobrol.”

“Aku memang orangnya pendiam, jadi harap maklum saja ya. Kalau tidak mau sepi, kenapa tidak menyalakan lagu saja? Nah, sekarang kamu ingin mengobrol memangnya sudah dapat berapa dokumen yang kamu vouching?”

Tiara tersenyum kecil dan menjawab, “Hehehe... Baru dua, Kak.”

“Hah? Baru dua? Memangnya dari tadi kamu ngapain saja?” tanyaku dengan nada yang sedikit membentak. Gila! Sudah hampir jam makan siang tapi baru dapat dua dokumen?

“Ya maaf, Kak. Masih meraba-raba ini. Jangan galak-galak begitu terus, Kak. Nanti jodohnya takut lho,” jawab Tiara dengan raut muka yang sama sekali tak terlihat merasa bersalah. Ia malah tertawa. Aku semakin tak mengerti dengan anak ini. “Besok saya janji bisa lebih cepat deh.”

“Mau galak atau tidak itu tergantung kamunya sendiri. Kalau kamu tidak bandel dan kerjanya bagus, aku tidak akan galak. Kalau kamu mau santai-santai sih silakan, tapi tetap pekerjaanmu harus detail, rapi, dan hari Jumat nanti harus sudah selesai semua.”

“Siap, Kak!” jawab Tiara dengan penuh semangat.

Aku kembali melanjutkan pekerjaanku sambil berpikir, Apa aku terlalu keras padanya? Namun dengan cepat kusingkirkan pertanyaan itu dari kepalaku karena ada pekerjaan yang masih harus kukerjakan. Mungkin emosiku saja yang sedang tak terkendali di beberapa hari ini.

“Kak, sudah jam lima nih, kita pulang—ke hotel—yuk,” seru Tiara yang sudah menggeletakkan kepalanya di samping laptop.

Aku melirik ke jam digital di sudut kanan bawah layar laptopku. Tanpa terasa waktu berjalan cepat. Sebenarnya aku tak biasa pulang tepat di jam lima sore, namun melihat Tiara yang sepertinya kelelahan setelah perjalanan jauh dan langsung memeriksa dokumen, aku jadi tak enak hati. Mungkin aku harus—sedikit—lebih lembut padanya. Bagaimanapun juga dia anak magang yang belum tahu apa-apa soal dunia kerja, dan aku harus memakluminya.

“Baiklah, ayo kita pulang.” Aku membereskan laptopku dan memasukkan pula beberapa dokumen ke dalam tas untuk dikerjakan di hotel nanti.

“Lho, Kak Rio, kenapa dokumennya dibawa juga?” Tiara bertanya, keheranan.

“Ya jelas untuk dikerjakan, memangnya mau dibagaimanakan lagi?”

“Di hotel masih kerja juga, Kak?” tanya Tiara yang semakin heran.

“Hei anak magang, asal kautahu ya, auditor kalau di rumah—atau di hotel—tidak kerja, bukan auditor namanya,” jawabku. “Dan hari Sabtu - Minggu bukan berarti harinya kau untuk istirahat dan bersantai-santai. Ingat itu!” Setelah kuberi tahu seperti itu, Tiara pun ikut memasukkan beberapa dokumen ke dalam tasnya. Melihat itu, aku mengutuki diriku sendiri. Baru saja aku berjanji untuk bisa sedikit lebih lembut pada Tiara, tapi pernyataanku tadi seperti memberikan beban baru padanya. Ah, tapi biarlah, biar dia tahu bagaimana sulitnya menjadi seorang auditor.

Kami berjalan ke hotel—yang kebetulan letaknya tidak jauh dan dapat ditempuh dengan berjalan kaki—dalam suasana yang diam. Tiara yang sejak pagi cerewet untuk sore ini menjadi diam seperti patung. Aku jadi merasa sedikit tidak enak padanya.

“Hei, anak magang, kenapa kau jadi diam begini?”

Tiara menggeleng. “Tidak apa-apa, kok, Kak. Saya cuma mengantuk.” Ya, aku bisa melihat itu dari sorot matanya yang kelelahan. “Kak, panggil saya ‘Tiara’ saja, Kak. Itu kan nama saya.”

“Tidak mau ah, karena namamu mengingatkanku pada seseorang.”

Tiara yang sebelumnya terlihat lesu tiba-tiba saja menjadi semringah. “Wah, siapa, Kak? Mantan ya?”

Mantan? Membayangkannya saja membuatku tertawa. “Sudahlah, tak usah dibahas.”

Sesampainya di hotel yang telah dipesankan oleh klien, kami segera masuk ke kamar masing-masing yang letaknya bersebelahan.

“Hei, kalau kau kelelahan, beristirahatlah. Kalau kau sampai sakit, nanti aku juga yang kerepotan.” Aku mengingatkannya sebelum sosok Tiara menghilang di balik pintu kamar. Aku pun segera memasuki kamarku dan merebahkan diri di atas tempat tidur. Pada awalnya aku ingin langsung melanjutkan pekerjaanku, namun rasanya kepala ini berat sekali dan aku pun memutuskan untuk melewatkan malam ini dengan tidur.

~ *** ~

When this world is no more, the moon is all we’ll see.

Sebuah lantunan lagu terdengar dari laptop Tiara ketika kulepas earphone yang tergantung di telingaku. Tak lama berselang, kulihat Tiara mengambil selembar kain tisu dan mengelap sebelah matanya.

“Hei, kau menangis?”

Tiara menoleh sedikit sebelum matanya kembali terfokus pada layar laptopnya. “Iya, Kak. Ini game-nya sedih banget.”

“Hah? Kamu main game? Memangnya dokumen-dokumen itu sudah kauperiksa semua?” Anak ini punya nyali yang besar juga hingga menyempatkan bermain game di tengah jam kerja. Kalau aku tak berjanji untuk bersikap lebih halus padanya, ia pasti sudah kumarahi habis-habisan.

“Sudah kok, Kak. Saking tidak tahunya mau berbuat apa lagi, jadi saya memilih untuk bermain game, lagi pula sebentar lagi jam lima.”

“Kalau sudah selesai ya bukan berarti kamu bisa leha-leha begitu saja,” ucapku dengan nada yang tegas. “Daripada bermain game, kamu kan bisa merapikan KKP-mu, belajar, atau apa saja yang berkaitan dengan pekerjaan. Memangnya kau mau timesheet-mu diisi dengan ‘bermain game?’”

Kepala Tiara tertunduk dan ia pun berkata, “Maaf deh, Kak. Saya khilaf. Janji deh, malam ini juga KKP-nya sudah rapi.” Aku tak begitu menggubrisnya karena aku sendiri masih sibuk dengan pekerjaanku dari klien sebelumnya yang belum selesai. “Kak Rio, besok Sabtu kita libur kan? Mau ke mana kita Sabtu besok?”

“Aku mau menyelesaikan laporan ini besok. Pak supervisor sudah menagih sejak kemarin,” jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptopku.

“Oh, ayolah, Kak Rio, jangan kerja terus. Kita jalan-jalan yuk, sayang kan kalau sudah sampai Bali tapi belum jalan-jalan? Yah, minimal ke pantai deh.”

Benar juga apa yang dikatakan Tiara. Aku pun sesekali perlu mengistirahatkan otakku. Aku sampai teringat kembali pada Tania yang sering kali menegurku karena terlalu serius bekerja. Ah, lagi-lagi Tania. Sudahlah, Rio. Dia sudah bahagia bersama orang lain. Di kepalaku, aku membayangkan diriku berdiri berhadap-hadapan dengan bayangan diriku dan menamparnya keras sekali.

“Baiklah, besok kita jalan-jalan, tapi kamu yang tentukan tempatnya ya?”

“Siap!!” jawab Tiara dengan semangat. Ia pun membuka mesin pencari di laptopnya dan menawarkanku beberapa tempat menarik di Bali, tapi aku sendiri tak begitu mementingkan tempat untuk berlibur. Di mana pun boleh saja, aku hanya ingin mengistirahatkan kepala.

~ *** ~

Hari semakin beranjak sore. Matahari mulai tenggelam di belahan Bumi tempatku berdiri, dan kami pun berjalan pulang ke hotel. Masih ada sisa waktu satu minggu lagi sebelum pullout dari audit field work di Bali ini, namun pekerjaan yang tersisa untuk kami berdua tidaklah banyak. Tampaknya mereka yang di kantor memang menginginkanku untuk berlibur di sini.

Aku berjalan berdampingan dengan Tiara yang sejak dari kantor klien tadi mengoceh akan banyak hal. Aku tidak begitu menghiraukannya karena aku lebih terfokus pada angin yang berembus menerpa wajahku dan langit yang semakin berubah warnanya. Menyenangkan juga menikmati matahari terbenam di sore-sore begini.

“Hei, kita makan di sana yuk.” Aku menunjuk ke sebuah restoran di sudut pertigaan jalan yang memiliki meja makan di ruang terbuka. Kami mencari meja kosong di pinggir jalan yang menghadap ke laut. Ketika Tiara bertanya kenapa aku memilih tempat ini, jawabanku hanyalah, “Aku ingin menikmati suasana sore ini.”

“Ih, Kak Rio kok tumben jadi melankolis begini? Kesambet apa, Kak?” Aku tak menjawab, aku malah mengambil daftar menu di atas meja dan membolak-baliknya. Tiara pun melakukan hal yang sama. Tak lama, ia berteriak, “Hah?! Kita yakin mau makan di sini, Kak? Apa tidak kemahalan ini?”

“Ah, kamu ini. Sudah dapat uang perjalanan dinas sebanyak itu saja masih mengeluh. Sekali-sekali bolehlah, kapan lagi kita bisa makan di Bali?”

“Oh, iya, benar juga sih, Kak.” Kami memesan makanan dan Tiara pun mulai mengoceh lagi. Aku tak begitu memerhatikannya karena sebagian besar ocehannya itu merupakan curahan hati dan aku sedang malas mendengarnya.

Kuubah fokus pandanganku ke arah jalanan. Banyak sekali orang berlalu lalang malam ini, entah hanya sekadar jalan-jalan santai, berbagi tawa dengan temannya, berbelanja, atau mencari tempat untuk makan malam. Ya, meja-meja di restoran ini pun mulai terisi, begitu pula dengan restoran di seberang jalan yang juga mulai ramai oleh pengunjung. Restoran itu juga memiliki meja makan di pinggir jalan. Di antara semua meja tersebut, ada satu meja yang sejak tadi menarik perhatianku. Meja yang diisi oleh seorang pria dan wanita, mereka tertawa bersama, bercanda, berpegangan tangan, dan melakukan hal-hal lain yang biasa dilakukan oleh sepasang kekasih. Pasangan itu sebenarnya tak jauh berbeda dengan pasangan muda-mudi lain di sekitarnya, namun pasangan itu takkan menarik perhatianku jika mereka bukanlah Tania dan suaminya yang sedang berbulan madu di pulau ini.

Dari kejauhan, aku melihat Tania tertawa bahagia dengan pria di hadapannya. Entah apa yang mereka bicarakan, ceritakan, tertawakan, semakin lama kulihat, dadaku merasa sesak. Kemudian, terlintas di benakku kenangan saat aku dan Tania berada di posisi yang sama. Dulu. Ya, dulu sekali.

“Kak Rio, tak ada angin ataupun debu tapi kenapa Kakak bisa kelilipan?”

Eh? Aku menyapu pipi kiriku yang sudah teraliri oleh tetesan air mata. Tanpa sadar aku kembali terbawa suasana. “Iya nih, kok bisa kelilipan ya?”

Tiara menengok ke belakang dan mencari-cari sesuatu. “Habis melihat apa sih, Kak, kok dari tadi melihat lurus ke sana terus?”

“Sudahlah, kamu makan saja. Setelah ini kita langsung ke hotel dan tidur.” Biarpun makanan yang hadir di hadapanku terlihat sangat cantik, nafsu makanku seketika menghilang. Aku hanya sanggup makan setengah porsi dan sisanya dihabiskan oleh Tiara yang kelaparan.

“Kak Rio, Kakak harus makan yang banyak, biar lebih ‘berisi’ sedikit. Saya khawatir saja nanti kalau ada angin kencang, Kakak bisa ikut terbang terbawa angin karena saking kurusnya badan Kakak,” kata Tiara sambil melahap makanan di piringnya, namun aku tak mengindahkannya.

Aku butuh waktu untuk menyendiri.

Umm... hei, aku ada urusan sebentar, jadi kau langsung pulang saja ya.” Aku mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetku dan memberikannya pada Tiara. “Ini bagianku, kalau kurang, besok kuganti.” Terburu-buru, aku pergi meninggalkan Tiara di mejanya dengan kebingungan, aku berjalan cepat dan berbelok di seberang jalan agar Tiara tak dapat mengikuti jejakku.

Setelah sekian menit berjalan, aku baru teringat bahwa aku lupa membawa tas ranselku. Aku mengirim sebuah pesan singkat pada Tiara, hanya memintanya untuk membawakan tas ranselku, lalu kumatikan ponselku. Aku hanya ingin sendirian saat ini.

Brukk...

Ponselku terlempar dari tangan ketika aku berbenturan dengan seorang wanita di persimpangan jalan. Aku terlalu fokus pada ponselku sampai tak memerhatikan jalan.

“Maafkan saya, Mbak. Saya kurang hati-hati.” Aku mengambil ponselku yang terlempar, dan di saat itulah wanita itu memanggil namaku.

“Rio?”

Terkejut, aku mendongakkan kepala dan di sana Tania berdiri, memandangiku begitu lekat. Sorot matanya tajam, memastikan apakah orang yang ditemuinya benar seperti yang ia kira.

“Rio!!” Tania berseru keras. “Ya ampun, kok kamu bisa ada di sini?” Raut wajah Tania menampakkan ekspresi yang terkejut. Tak hanya dia, aku pun juga. Baru beberapa saat yang lalu aku memerhatikannya dari kejauhan, tak kusangka aku malah berpapasan dengannya sekarang. Tak lama, tanpa kujawab, raut wajah Tania berubah seperti tersadar akan sesuatu. “Oh iya, klien yang waktu itu kautawarkan padaku ya? Kebetulan banget ya kita bertemu di sini.”

Melihat Tania berdiri di sini—tepat di hadapanku—membuatku bergeming. Keraguan mencuat di dalam hatiku, antara senang atau sedih. Senang karena akhirnya aku bisa bertatap muka kembali dengan sahabat yang menjadi pujaan hatiku, tapi juga sedih karena kenyataan yang belum bisa kuterima, terlebih lagi suami Tania tampak tak jauh di belakangnya. Pria itu berjalan santai, dengan kedua tangan yang tersimpan di saku celananya, ia tersenyum padaku seakan-akan menyatakan kalau ia menang dan berhasil mendapatkan Tania—setidaknya itu yang terlintas di dalam benakku.

Lidahku kelu hingga tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun, bahkan untuk mengucapkan kata sapaan saja tak sanggup, dan Tania menangkap kecanggunganku itu. “Kau tampak berbeda, Rio. Ada apa? Kita bisa mengobrol malam ini kalau mau, karena besok aku sudah harus pulang dari liburan kami.”

“Ah, tidak,” jawabku pelan. Bahkan sampai detik ini pun lidahku tak tahu harus berkata apa. Pertemuan dengan Tania yang tak terencana ini benar-benar mengacaukan sistem saraf di seluruh tubuhku. “Bukan apa-apa, Tania. Aku hanya harus segera kembali ke hotel.”

Senyuman di wajah Tania mendadak hilang dan berganti dengan ekspresi kekecewaan. “Jangan bilang di hari Jumat malam pun kamu masih mau mencicil pekerjaan.”

“I... iya. Laporan yang kemarin sudah ditunggu, aku harus cepat-cepat menyelesaikannya,” jawabku terbata-bata.

“Kalau sudah ditunggu, ya mau bagaimana lagi? Tadinya aku mau memaksamu untuk mengobrol malam ini, tapi kalau tidak bisa... mungkin kita bisa mengobrol lagi lain kali.” Tania dan suaminya kemudian melenggang pergi dari hadapanku. Samar-samar telingaku menangkap kalimat, “Sampai jumpa, Rio!” dari arah Tania pergi, sementara aku tak sanggup membalas kalimat itu. Aku masih terpaku di tempatku berdiri.

~ *** ~

Aku berjalan pelan, menyusuri jalan yang masih ramai dipenuhi orang. Kenapa mereka belum pulang? Aku menyisir lagi pandanganku ke sekitar, ternyata orang-orang yang masih berlalu lalang di jalan ini kebanyakan turis mancanegara yang sepertinya sibuk mencari tempat hiburan malam.

Langkahku terhenti di depan pintu sebuah bar. Jujur saja, aku tak tahu apa sebutan yang tepat untuk tempat ini. Bar, pub, atau apalah itu. Dari jendela, bisa kulihat banyak sekali orang bule yang memenuhi tempat ini. Berbicara dengan suara keras sambil meminum—yang kuduga adalah—minuman keras.

Sepertinya tempat ini cocok.

Tanpa ragu, aku melangkah masuk melalui pintu itu. Di dalam, suasana tampak terang, tidak gelap atau minim cahaya seperti yang ada di bayanganku sebelumnya. Agak berisik, tapi hanya karena sebatas obrolan ringan saja di antara para pengunjung. Aku mengambil tempat duduk di depan sebuah meja panjang, kemudian seorang bartender datang menghampiriku.

“Bir, anggur, wiski, vodka, apa pun itu, tolong berikan yang mudah membuatku mabuk.”

“Bagaimana kalau satu shot tequila, Pak?” Sang bartender mencoba memberiku saran, tapi aku bahkan tak tahu tequilaitu apa.

“Apa saja boleh,” jawabku singkat. Tak lama, bartender itu kembali dan menyerahkan segelas kecil air kepadaku. Apa ini? Hanya sekecil ini? Aku tak tahu menahu soal takaran dalam minuman keras. Entah memang porsinya yang sedikit atau bartender ini saja yang terlalu pelit?

“Pak, kalau ini pertama kali, sebaiknya minumnya perlahan-lahan saja.”

Memangnya kenapa kalau langsung diminum sekaligus? Apa aku akan cepat mati? Ah, biarlah. Lagi pula, apalah artinya hidup ini bila tak ada kasih sayang yang kumiliki? Aku tak menggubris saran dari bartender itu dan langsung menenggak habis air di dalam gelas kecil yang kugenggam ini.

Ugh... pahit. Aku sampai heran mengapa banyak orang-orang bule yang suka meminum minuman pahit begini. Tak ada semenit, rasanya tenggorokanku mulai terasa panas yang kemudian merambat turun ke lambungku. Kupikir rasa panas ini bertahan sampai di sana. Tak lama, rasa panas itu merambat naik hingga ke kepala. Aku menatap pada sang bartender dan sepertinya ia mengerti apa yang ada di dalam pikiranku. Ia memberiku segelas lagi air yang sama dan sekali lagi langsung kutenggak habis minuman ini. Kuabaikan rasa pahit, panas, dan kering dari minuman ini dan menikmati sensasi yang diberikan. Tubuhku terasa lebih hangat, cocok sekali untuk malam yang dingin ini. Setelah beberapa gelas kecil ini kutenggak, perlahan badanku terasa lebih ringan. Aku hampir saja berpikir bahwa tubuhku melayang. Rasanya seperti ada beban berat yang pergi begitu saja meninggalkan tubuh ini. Kini aku bisa mengerti saat mereka mengatakan bahwa minuman keras bisa menghilangkan stres yang kaualami.

Aku tak tahu sudah berapa gelas yang kuminum, yang kutahu hanyalah setiap gelas yang kuminum, aku merasa lebih baik, setidaknya sampai kepala ini terasa semakin berputar. Aku mendongakkan kepala dan entah mengapa semua yang kulihat tampak berbeda. Semuanya terasa bergerak. Hei, ada apa ini? Apakah ada gempa? Aku terus meminum minuman yang disuguhkan padaku hingga sebuah tangan menghentikan gerakanku.

“Astagfirullah!! Kak Rio, kenapa Kakak minum ini?”

Aku menolehkan kepalaku. Di sana, kulihat sosok Tania duduk di sampingku. Aku senang bila ada yang menemaniku. Rasanya sepi sekali tempat ini. “Hei, Tania. Apa kabar? Kau mau minum bersamaku?” Tania menggelengkan kepalanya. Eh, tunggu, ia mengangguk. Aku mengambil segelas minuman dengan tangan kiriku dan memberikan itu padanya. “Ayo, Tania, temanilah aku minum.”

“Kak, istigfar, Kak. Kak Rio tidak boleh minum minuman haram ini.” Tania menampik gelas yang kuberikan padanya. Minuman itu pun tumpah dan terbuang percuma. Kenapa? Kenapa ia tidak mau ikut minum denganku?

“Kenapa, Tania? Minuman ini enak lho. Ayo, cobalah. Baca ‘bismillah’ dulu, biar halal.” Tiba-tiba saja aku tertawa. Entah mengapa kalimatku tadi terdengar lucu. Hahaha...

“Kak Rio, sadarlah! Kau sudah mabuk.”

Tawaku terhenti. Kini kepalaku sedikit miring karena kebingungan mencerna perkataan Tania. Tak lama, aku kembali tertawa terbahak-bahak. “Aku ini sadar, Tania. Kamu itu yang mabuk. Dari tadi memanggilku ‘Kak’, padahal aku bukan kakakmu.” Aku kembali tertawa keras. Lucu. Sumpah, ini lucu sekali. “Aku ini sahabatmu, kekasihmu, ayo menikahlah denganku.” Aku tak mengerti kenapa Tania begitu aneh malam ini. Apa dia sedang diguna-guna? Diracun? Oleh siapa? Tidak... aku takkan membiarkan kekasihku pergi. Aku memeluk Tania dengan erat. Erat sekali. “Kau tak boleh pergi, Tania. Tak boleh.” Air mata mengalir deras dari kedua mata ini, dan tiba-tiba sosok Tania rasanya menghilang dari dekapanku. Ke mana dia? “Kenapa kamu pergi, Tania? Jangan pergi! Jangan!”

“Sudah cukup, Kak Rio. Ayo kita pulang.”

Tania kemudian melepaskan diri dari pelukanku. Pulang? Pulang ke mana? Kau mengajakku ke rumahmu? Berdua saja? Memangnya ini di mana? Keseimbanganku goyah dan kepalaku mendadak terasa sakit sekali. Lalu semuanya menjadi gelap dan tak ada satu pun yang kuingat.

~ *** ~

Perlahan-lahan, aku mencoba membuka mata, namun kepalaku yang terasa pusing ini memerintahkanku untuk tetap tergeletak di tempat tidur. Apa yang terjadi padaku? Butuh waktu sekian menit bagiku untuk dapat menggerakkan tubuh yang terasa lemas ini. Dengan langkah yang sempoyongan, aku berjalan ke kamar mandi dan membasuh mukaku.

Kuperhatikan bayangan wajahku di cermin. Pucat, berantakan, kacau, acak-acakan, kusut. Aku tak dapat menemukan kata yang berarti baik untuk menggambarkan raut wajahku saat ini. Semuanya buruk. Selain raut wajahku yang kacau ini, perutku juga terasa tak enak, tenggorokan kering, terlebih lagi sakit kepala yang luar biasa ini tak kunjung reda, dan satu hal yang melengkapi pagiku yang buruk ini: aku tak ingat apa yang terjadi pada diriku semalam.

Aku menutup mata, berusaha menelusuri serpihan-serpihan ingatan di otakku ini, namun hasilnya nihil. Ini tak semudah menelusuri angka yang ganjil pada suatu transaksi yang kutemukan di laporan keuangan perusahaan. Ingatanku terputus pada saat terakhir aku bertemu Tania di jalan. Selanjutnya yang kuingat adalah bangun dari tidurku di pagi hari ini dengan kondisi yang berantakan seperti ini.

Tiba-tiba aku mendengar suara ketukan dari pintu kamar. Aku segera mengelap mukaku dengan handuk dan membuka pintu.

“Selamat pagi, Kak Rio.” Tiara berdiri di depan pintu, menatapku dengan ekspresi yang tak dapat kutebak. Ia pasti heran karena wajahku yang benar-benar terlihat seperti baru bangun tidur, rambut yang masih acak-acakan, dan masih memakai kemeja batik yang kupakai kerja kemarin. Tiara tiba-tiba mengacungkan keempat jari tangannya di hadapanku dan berkata, “Kak, ini berapa?”

“Empat. Memangnya kenapa?” jawabku dengan suara pelan. Tenggorokan ini rasanya tak enak, bahkan suaraku terdengar parau begini.

Tiara menghela napas panjang. “Alhamdulillah, Kakak sudah tidak mabuk lagi.” Mabuk? Memangnya kapan aku mabuk? “Kita sarapan yuk. Sudah jam sembilan nih, sebentar lagi waktu sarapannya habis.”

Umm... entahlah, sepertinya aku sedang tak nafsu makan.”

“Tidak boleh!” Tiara berseru keras. “Kakak harus makan, apalagi kemarin sudah muntah banyak sekali, perut Kakak harus diisi sesuatu yang sehat.”

Muntah? Aku sama sekali tidak ingat. Dengan langkah yang gontai, badanku menurut saja saat diseret oleh Tiara ke ruang makan di lantai dasar hotel ini. Dengan badan yang lemas seperti ini dan sakit kepala yang belum hilang, aku tak dapat melawan. Tiara kemudian mencarikan tempat duduk. Selagi ia memilih menu sarapannya pagi ini di meja prasmanan, aku terkulai lemah di kursiku, tak bernafsu untuk makan dan tak ingin bergerak, bahkan tatapan mataku menjadi kosong tanpa kusadari.

“Kak Rio, ayo makan.” Aku mendongakkan kepala, tersadar. Di depanku sudah terdapat beberapa lembar roti yang telah diberi selai dan secangkir teh hangat. “Tak nafsu makan bukan berarti tubuh Kakak tidak butuh makanan. Paling tidak makanlah roti ini. Lihat saja, Kak Rio sudah seperti tengkorak yang ada di laboratorium sekolah adik saya.”

“Hei, anak magang,” Kuambil gelas yang berisi teh hangat dari atas meja dan menyeruputnya. Rasanya segar. Tenggorokanku terasa lebih enak dan rasa mual di perutku perlahan-lahan mulai menghilang. “Apa yang terjadi padaku semalam?”

“Kak Rio mabuk.” Tiara menyendokkan sejumlah nasi beserta potongan daging dan melahapnya. “Semalam, saya mengikuti Kak Rio di jalan karena entah mengapa Kak Rio tiba-tiba berubah sejak kita makan malam kemarin.”

Aku mendengarkan cerita yang diutarakan Tiara sambil memakan roti di hadapanku dengan pelan. Tiara berkata bahwa malam tadi aku berjalan memasuki sebuah bar dan minum banyak minuman keras setelah berpapasan dengan seseorang.

“Saya khawatir dengan Kakak, jadi saya memberanikan diri masuk ke bar itu, tapi saya terlambat. Kakak sudah terlanjur mabuk dan memanggilku dengan nama ‘Tania’, bahkan Kakak juga menawariku minuman yang baunya menyengat itu.”

Kini aku mengerti. “Maafkan aku ya. Aku telah membuatmu khawatir.”

“Ah, tak masalah. Untung saja ada orang bule baik hati yang mau menolong saya buat membawa Kakak ke hotel.” Tiara menghabiskan makanan di piringnya dan meneguk jus buah di gelasnya. “Sebaiknya hari ini Kak Rio istirahat total di kamar. Dan jangan pernah minum minuman keras seperti itu lagi. Itu tidak baik dan tak bisa menghapus masalah yang Kakak alami. Kalau Kak Rio butuh teman untuk bercerita, saya siap mendengarkan kok.” Aku diam termenung dalam kursiku. Jika kemarin-kemarin aku yang menceramahi anak magang satu ini, kali ini malah aku yang diceramahi. “Pokoknya jangan pernah lagi minum minuman keras!” seru Tiara, mempertegas perkataannya barusan.

“Baiklah, aku janji.”

Kami kembali ke kamar masing-masing dan aku membenamkan kepalaku di bawah bantal, mencoba untuk tidur dan mengistirahatkan kepalaku yang masih sakit akibat mabuk kemarin malam.

~ *** ~

Seorang anak laki-laki berlari ke arah ombak yang menepi ke pantai. Ia terlihat bahagia sekali saat ombak itu menerpa tubuh kecilnya itu. Melihat dia, rasanya aku ingin sekali kembali ke masa-masa itu, masa kanak-kanak yang bebas untuk melakukan apa saja yang kumau. Dulu sewaktu kecil aku juga sering dibawa ayah ke pantai, bermain air, menggali lubang di pasir, membuat huruf-huruf dengan kaki kecilku. Kalau aku yang sekarang tentu tidak mungkin melakukan hal itu lagi. Bermain air akan membuat celanaku basah, belum lagi jika terpeleset dan seluruh bajuku basah. Kalau basah, bagaimana dengan dompet dan telepon genggam yang ada di kantong celanaku ini? Kalau bermain pasir, hanya membuat tanganku kotor saja, lalu orang-orang di sekitarku akan melihat apa yang kulakukan dengan pasir itu dan mereka akan berpikir bahwa aku kekanak-kanakan. Terlalu banyak yang dipertimbangkan sehingga keinginanku pun terbatasi logika yang tercipta di kepalaku ini. Rugi juga sih jika pergi ke pantai tapi kaki tidak basah terkena air laut.

“Ini Kak, air kelapanya.”

Tiara datang dengan dua buah kelapa yang bagian atasnya sudah dilubangi dan diberi sedotan serta sendok untuk mengeruk buah kelapa di bagian dalam kulitnya. Kuisap air kelapa itu melalui sedotan. Segar sekali.

“Kak Rio benar sudah sehat nih? Nanti kalau Kakak sakit, saya juga yang repot, apalagi saya belum tahu hari Senin besok mau berbuat apa di kantor.”

“Sudah, tenang saja. Kau sendiri kan yang kemarin meminta jalan-jalan? Lagi pula, kalau hanya tidur-tiduran saja di tempat tidur, aku takkan merasa sehat, yang ada malah kepalaku semakin pusing.”

Ya, suasana pantai di sore hari ini terasa menyenangkan. Embusan anginnya, suara ombaknya, dan hangatnya sinar matahari yang tak terlalu panas membuatku merasa lebih baik. Sakit kepalaku sudah sepenuhnya menghilang.

Tiara meletakkan buah kelapanya di pasir dan kemudian memeluk kedua lututnya. Dengan mata yang menatap lurus ke laut, ia berkata, “Kak, saya penasaran deh, yang kemarin malam berpapasan dengan Kak Rio itu teman Kakak yang bernama Tania ya? Dilihat dari jauh pun, terlihat kalau wanita itu akrab sekali dengan Kak Rio.”

Aku menyandarkan punggung dan kepalaku di batang pohon. “Iya,” jawabku singkat.

“Kalau tidak keberatan, ceritakan saja, Kak. Siapa tahu bisa membuat hati Kakak lebih lega.”

Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Pandanganku mengarah ke laut, namun tatapan ini kosong tak berfokus. Aku tak tahu harus menceritakannya dari mana. Kalau kuceritakan dari saat pertama kali bertemu di kampus, jelas ini akan memakan waktu lama.

“Tania itu satu-satunya teman dekat yang kumiliki. Sudah sejak lama kami saling mengenal dan menjadi sahabat, tapi ia tak pernah tahu kalau aku mencintainya.”

Berawal kalimat itu, memori yang tersimpan di otakku ini mencuat ke permukaan. Aku menceritakan segala hal tentang Tania kepada Tiara, melupakan kemungkinan bahwa Tiara akan kebosanan. Semakin lama, tanpa terasa suaraku bergetar.

“Pasti sakit ya rasanya?” ucap Tiara sambil mengeruk daging kelapa dengan sendok.

“Begitulah. Pasti kau tidak akan percaya bila kukatakan aku menyanyikan lagu yang menyatakan perasaanku pada Tania di acara pernikahannya.” Mata Tiara memelototiku dan aku tertawa kecil menanggapinya.

“Di hadapan semua orang?” Aku mengangguk. “Gila! Terus Tania-nya bagaimana? Suaminya bagaimana? Marah-marahkah?” Tiara semakin penasaran. Bisa kulihat itu dari sorot matanya yang penuh tanya di kala ia menyeruput air kelapa melalui sedotannya.

“Untung saja dia tak tahu. Tapi setelah menyanyikan itu, perasaanku jadi lebih lega. Tak apalah jika ia tak menyadarinya, tapi setidaknya aku sudah menyatakannya, meski sudah sangat terlambat.”

“Wah, saya tidak bisa membayangkannya, Kak, tapi itu terdengar keren sekali. Memang lagu apa sih yang dinyanyikan? Jadi penasaran nih.”

Aku tertawa kecil melihat ekspresinya itu. “Hah? Keren dari mananya? Rasanya nyesek banget, tahu? Kamu juga tidak akan tahu lagunya deh. Tidak terkenal kok.”

Tiara memasang muka cemberut karena rasa penasarannya yang tak terjawab. Ia pun perlahan menyandarkan kepalanya di bahu kananku, menatap langit yang semakin kehilangan warna mataharinya. “Yah, namanya juga hidup, Kak. Tania hadir di kehidupan Kak Rio bukan untuk dilupakan, tapi dia merupakan bagian kehidupan Kakak yang perlu diambil hikmahnya. Dengan mengalami kisah yang menyesakkan seperti itu, Kak Rio bisa belajar akan artinya sebuah hidup dan menjadi lebih dewasa.”

Aku menghela napas panjang. “Ya, semoga saja.” Setelah bercerita panjang pada Tiara, aku jadi merasa lebih tenang. Ini jauh lebih baik daripada meminum alkohol. Mengingat alkohol, aku jadi penasaran akan sesuatu. “Oh, iya, sewaktu mabuk kemarin, apa aku melakukan sesuatu yang aneh atau memalukan? Aku tidak bisa mengingatnya sama sekali.”

Tiara berdiam saja. Entah apa yang dipikirkan atau ia coba ingat, tapi butuh waktu cukup lama sebelum ia menjawab, “Ah, tidak ada. Kak Rio hanya menjadi super cerewet, tidak seperti biasanya yang selalu diam dan galak. Lalu, sesampainya di kamar hotel pun Kak Rio langsung memeluk bantal sambil mengigaukan Tania lagi, setelah itu saya tidak tahu apa-apa.”

Apa hanya seperti itu? “Syukurlah kalau begitu. Kalau di film-film yang pernah kutonton, orang mabuk pasti bertingkah aneh.”

“Sudahlah Kak. Tak usah diingat-ingat. Saya cuma khawatir kalau Kakak ingin mencoba alkohol lagi.” Tentu tidak. Aku tahu kalau aku tidak selemah itu. Menikmati suasana pantai seperti ini saja sudah bisa membuatku lebih tenang, jadi kenapa aku harus merusak tubuhku sendiri?

“Hei, kalau dilihat-lihat, mataharinya bagus ya? Kau mau main air? Sayang lho kalau sudah ke pantai tapi tidak basah-basahan.” Dari bahuku, aku bisa merasakan Tiara menggelengkan kepala, namun aku tetap bangkit dari posisiku dan menarik sebelah tangan Tiara, menyeretnya untuk bermain air laut, tertawa lepas saat ia berteriak dan menolak untuk didorong ke air.

~ *** ~

“Selamat pagi, Pak!”

Cleaning service itu menyapaku sambil mengepel lantai kantor. Aku pun membalas sapa. Seperti biasa, aku datang terlalu pagi. Selama bekerja di kantor akuntan publik ini, aku punya prinsip lebih baik datang terlalu cepat daripada terlambat dan merusak rekorku sebagai orang yang tak pernah datang terlambat ke kantor.

Aku meletakkan jaket di kursi dan kemudian langsung membuka laptop di atas meja. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini. Kuharap Tiara tidak datang terlambat. Seminggu kemarin sudah ada dua tanggal merah di hari kerja, ia pasti bersantai-santai di rumah dan tidak mengerjakan apa-apa. Lihat saja, kalau sampai ia datang terlambat, akan kumarahi dia.

Message waiting...

Sebuah notifikasi yang menandakan adanya pesan masuk muncul di layar laptopku. Dengan cepat, kubuka perangkat lunak pembuka pesan dan di sana terdapat satu pesan elektronik yang belum kubaca. Dari Tiara, dikirim hari kemarin pukul sebelas malam. Isi pesan itu berupa suatu permintaan maaf yang dilampiri berkas kertas kerja pemeriksaan dari akun-akun laporan keuangan klien yang telah ia kerjakan.

Kak Rio,

Berikut ini terlampir KKP saya, maaf agak telat dan kurang rapi. Besok kemungkinan saya tidak masuk kantor. Sekali lagi maaf ya kalau hasil kerja saya tidak sesuai dengan ekspektasi Kakak dan tidak banyak membantu.

Salam,

Tiara.

Tumben sekali Tiara mengirim email dengan sopan begini. Biasanya bila ia ingin mengirim sesuatu tak pernah disertai kata-kata seperti ini. Baguslah kalau ia mulai sadar. Aku mengambil ponselku dan mengirimkan sebuah pesan singkat padanya. “Kamu sakit? Cepat sembuh ya, nanti siapa yang mau membantuku membuat laporan kalau kamu tidak ada?”

Aku kembali fokus pada kertas kerjaku, tapi rasanya ada yang kurang. Sepi. Biasanya dari sejak pagi Tiara sudah cerewet mengganggu konsentrasiku, tapi untuk hari ini rasanya benar-benar sepi. Sudah lama juga aku merindukan suasana sepi saat bekerja di kantor. Semua orang memakai earphone atau headphone-nya masing-masing, mendengarkan legu yang mereka suka sambil mengerjakan tugas. Begitu pula denganku. Jika kulepas earphone ini, jarum jam dinding pun masih dapat terdengar dengan jelas, setidaknya untuk hari yang sepi ini. Namun, walaupun aku menikmati suasana sepi tanpa suara dari Tiara, aku sedikit merindukannya. Kalau saja dia masuk hari ini, aku bisa menyuruhnya untuk memfotokopi laporan audit di mejaku ini.

Aku menghela napas panjang. Dengan terpaksa aku sendiri yang harus memfotokopi laporan ini. Aku berjalan ke lantai dasar—ke ruang HRD—karena hanya di sana satu-satunya mesin fotokopi kami tersimpan.

“Hei, Rio, apa kabar?” tanya salah seorang pegawai HRD.

“Tidak begitu baik, Mbak” jawabku. “Tiara tidak masuk, jadi aku sendiri yang harus memfotokopi laporan ini.

“Lho, memangnya Tiara ke mana?”

“Entahlah. Dia cuma bilang kalau hari ini tidak masuk, saya tanya kenapa, tapi belum dibalas.” Kuangkat bagian atas mesin fotokopi ini dan meletakkan laporan yang ingin kufotokopi dalam keadaan terbalik. Ah, kalau saja tidak dijilid spiral begini pasti sudah lebih gampang memfotokopinya, aku menggerutu di dalam hati. “Kontrak magangnya belum habis kan?”

“Hmm... seingatku sih belum. Kemungkinan minggu depan habisnya.” Tanpa terasa tiga bulan sudah berlalu sejak si anak magang itu datang ke kantor. Cepat sekali. Rasanya baru kemarin aku memarahinya karena sering bersantai-santai di kantor. Berarti mulai minggu depan sudah tidak ada lagi celotehan yang mengganggu itu di samping meja kerjaku? Lega, namun entah mengapa hati kecilku ini merindukannya.

Selagi aku membolak-balik halaman laporan dan mengopinya, salah seorang pegawai HRD menerima telepon. Bukannya aku yang merasa ingin tahu, tapi pegawai HRD itu berbicara dengan keras sehingga sebagian perkataannya dapat kutangkap.

“Kenapa? Di RS Premier Bintaro? Apa? Bunuh diri?”

“Siapa sih, Mbak? Kayaknya seru banget.” Setelah pegawai HRD itu menutup teleponnya, aku bertanya, penasaran. Bosan juga kalau memfotokopi laporan ini satu persatu halaman jika tak ada bahan obrolan.

“Oh, itu... Tiara.... bunuh diri...”

Aku terpaku untuk beberapa detik sebelum akhirnya kaki ini berlari kembali ke mejaku di lantai dua. Tiara bunuh diri?

“Kau kenapa, Rio, buru-buru begitu?” tanya salah satu rekan kerjaku yang melongok dari pembatas meja saat melihatku berlarian di ruang kerja yang cukup luas ini.

“Aku harus pergi. Ada urusan mendadak.”Dengan segera, kuambil jaket yang disangkutkan pada sandaran kursi. Tak sempat membereskan laptop, benda itu hanya kututup saja layarnya dan kutinggalkan pergi menuju sepeda motorku di parkiran. Aku langsung menancapkan gas dan pergi keluar ke jalan raya. Oh, tidak... Aku lupa absen keluar dari mesin kehadiran.

Ah, persetan dengan absensi. Aku mengendarai motor secepat yang kubisa untuk mencapai rumah sakit. Sepanjang perjalanan, kepalaku dipenuhi berbagai pertanyaan. Kenapa Tiara bunuh diri? Apa alasannya? Apakah karena aku yang sering membentak dan terlalu keras padanya? Ataukah alasan lain? Putus cinta? Tapi seingatku Tiara tidak punya pacar. Dibunuh? Jelas-jelas orang HRD tadi bilang bunuh diri. Kapan? Kenapa tidak cerita? Kenapa tidak memberi kabar? Hei, Mana ada orang bunuh diri memberi kabar dulu? Kalau meninggalkan pesan sih masih mungkin, ataukah jangan-jangan email tadi itu pesan terakhir darinya? Lalu, dia bunuh diri dengan apa? Apakah menyakitkan? Dan kenapa harus sekarang? Kenapa tidak nanti saja kalau laporan audit ini sudah selesai? Nanti siapa yang bisa membantuku?

Argh.... kepalaku pusing. Tak hanya berbagai pertanyaan ini yang mengalir di otakku, tapi juga rasa penyesalan mencuat dan membanjiri seluruh tubuhku. Pasti ini semua karena aku yang terlalu keras padanya, tidak mengerti keadaannya, kesibukannya, dan aku juga sering mengabaikannya baik itu saat di kantor maupun di klien. Memang pada dasarnya Tiara itu orang yang senang mengobrol, mudah berbaur dengan lingkungan sekitar, selalu ceria, dan cepat belajar, tapi aku saja yang terlalu keras kepala dan tak berani memerhatikan ia. Bagaimanapun juga, aku masih membutuhkanmu, Tiara. Bertahanlah....

Sesampainya di rumah sakit, aku bergegas mencari orang yang bisa ditanyakan. Meja resepsionis.

“Mbak, pasien yang bunuh diri di mana ya?” tanyaku dengan napas yang terengah-engah karena berlari dan terburu-buru.

“Oh, Bapak dari sini tinggal lurus, mentok, belok kanan,” kata perempuan di meja resepsionis itu. Dengan cepat, aku berlari menuju arah yang telah ia tunjukkan. Lurus, mentok, belok kanan. Aku mengulangi petunjuk itu berulang kali di kepalaku hingga aku sampai di belokan yang dimaksud.

Brukk...

Saking terburu-burunya, aku hampir lupa mengontrol diri dan berbenturan dengan seseorang di belokan itu. Aku meminta maaf berulang kali sampai aku menyadari bahwa orang yang kutabrak adalah seseorang yang kukenal.

“Lho, kenapa kamu di sini?” tanyaku pada Tiara yang berdiri sehat di hadapanku.

“Lah, seharusnya kan saya yang bertanya begitu. Kenapa Kak Rio ada di sini?” Kini Tiara yang kebingungan.

“Kamu bukannya bunuh diri?” Sepertinya butuh waktu sekian detik sebelum pertanyaanku meresap di telinga Tiara. Setelah pertanyaanku itu dapat dicerna, ia pun tertawa terbahak-bahak hingga beberapa orang di sekitar memelototi kami.

“Bunuh diri? Dapat info dari mana sih, Kak?” Terus terang saja aku memberitahukannya soal telepon di ruang HRD tadi pagi. “Itu tadi saya telepon mau minta izin tidak masuk karena mau menjenguk teman saya mencoba untuk bunuh diri.” Tiara pun melanjutkan tertawa keras.

Salah sendiri tadi langsung kabur. Aku mengutuki diriku sendiri yang langsung mengambil kesimpulan tanpa mengonfirmasikan info yang sedikit kuterima tadi. “Kalau kau bisa menelepon kantor, kenapa SMS-ku tadi pagi tidak kaubalas?”

“Baterai ponsel saya habis, Kak. Lupa diisi sejak kemarin sore. Berhubung di kartu nama saya ini tercantum nomor telepon kantor, jadi saya bisa menelepon kantor lewat ponsel teman.” Tiara mulai bisa mengendalikan dirinya setelah puas menertawai kebodohanku hari ini. Ia mengusap kedua matanya yang basah karena tertawa keras yang cukup lama.

Syukurlah. Lelah pikiran dan sekaligus merasa lega, aku menempelkan kepala di tembok yang dingin ini. “Kau membuatku khawatir saja, Tiara.”

“Apa? Kak Rio bilang apa barusan?”

Aku memalingkan muka dari tembok dan menatap kedua mata Tiara dengan tajam. “Kau membuatku khawatir!” Aku mengulangi perkataanku tadi dengan nada yang tinggi. Kesal tapi juga senang karena Tiara yang baik-baik saja. Entah, aku tak tahu bagaimana menggambarkan perasaanku saat ini. “Kalau kamu benar pergi, bagaimana aku bisa me-review KKP-mu nanti? Kalau partner menanyakan soal KKP-mu yang berantakan itu, lalu siapa yang akan membantuku nanti?”

Tiara menundukkan kepala dan menjawab dengan suara yang pelan. “Tak usah marah-marahlah, Kak. Saya kan belum mati. Lagi pula masih ada waktu satu minggu sebelum kontrak saya habis, dan itu pun saya berencana memperpanjang—jika diizinkan—karena data yang  dibutuhkan untuk skripsi saya belum cukup.”

“Pasti diizinkan. Kau tahu sendiri kan kalau kantor kita sangat kekurangan orang? Memangnya judul skripsimu apa sih? Kenapa belum selesai?” Itu karena kau yang tak henti-hentinya memberi Tiara pekerjaan, Rio. Aku menjawab sendiri pertanyaanku di dalam hati. Bodoh sekali aku ini. Aku pun mengajak Tiara berjalan ke luar, mencari makan karena waktu sudah menunjukkan jam makan siang.

“Tapi Kak Rio jangan tertawa ya, soalnya judulnya aneh.”

“Sudah, katakan saja! Jangan membuatku penasaran.”

Tiara tampak mengingat-ingat sesuatu. Masa sih judul skripsi sendiri dilupakan? Namun, sejurus kemudian Tiara berkata, “Judul skripsi saya itu ‘Hubungan Antara Intensitas Jam Kerja dengan Kesempatan Menemukan Jodoh pada Junior Auditor.’”

Setelah tadi sempat ditertawai, kini giliranku untuk tertawa. “Kok bisa ambil judul seperti itu? Di mana letak akuntansinya?”

Tiara pun menggelengkan kepala. “Tidak ada, karena saya mahasiswi fakultas psikologi, Kak.” Kalau begitu, pantas saja ia tidak mengerti apa-apa soal audit laporan keuangan sampai aku harus mengajarinya mati-matian. “Aneh ya? Tapi dosen pembimbing saya menyetujuinya kok.”

“Lucu saja. Aku tak pernah membayangkan itu. Lalu, bagaimana hipotesismu sejauh ini?”

Tiara tampak bersemangat saat kutanya seperti itu. Dengan mantap, ia pun menjelaskan, “Auditor itu pekerjaannya banyak sekali, terpaksa bekerja lembur setiap hari, dan bahkan hari libur di akhir pekan pun terkuras untuk menyelesaikan pekerjaan yang dikejar tenggat yang sangat sempit. Dengan dasar itu, aku bisa memperkirakan sisa waktu kosong yang dimiliki oleh seorang auditor untuk menemukan tambatan hatinya. Karena waktu yang dimiliki sangatlah sedikit, untuk sementara, kesimpulanku adalah kesempatan seorang auditor bisa menemukan jodoh sangatlah kecil. Namun itu tak menutup kemungkinan ada variabel lain yang bisa memengaruhi kemungkinan ini, misalnya seperti karena lokasi kerja auditor yang berpindah-pindah dan bertemu orang-orang baru, bisa jadi ada cinta lokasi di antara auditor dengan kliennya.”

Tiara melanjutkan penjelasannya dengan panjang lebar, namun aku tertarik pada satu hal yang tidak ia sebutkan sejak tadi. “Kau belum menceritakan soal kisah cinta antar sesama auditor.”

“Nah, maka dari itu saya ingin memperpanjang kontrak magang saya karena datanya belum cukup. Kisah Kak Rio dengan Kak Tania saja belum cukup. Saya butuh kisah yang benar-benar membuktikan bahwa cinta sesama auditor itu memungkinkan.”

“Kalau begitu jadi pacarku saja bagaimana?”

Tiara menghentikan langkah kakinya. Ia terbengong-bengong dengan mulut yang sedikit menganga.

“Aku tak mau mengulangi kesalahanku yang sama dengan Tania dulu, maka dari itu kunyatakan perasaanku sekarang. Dan kalau kau menerimanya, kau bisa langsung mendapatkan data untuk skripsimu itu karena statusmu sekarang ini kan auditor juga.”

Tiara masih tampak diam dalam lamunannya. Kubiarkan ia sendiri dan kutinggal pergi. Perutku sudah lapar. Melihat ditinggal, Tiara kemudian bergerak dan mempercepat langkahnya. “Eh, Kak Rio, tunggu!”

“Jadi bagaimana, kau mau atau tidak?” tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari jalan di depanku.

“Saya mau, tapi Kak Rio jangan galak-galak lagi dong. Mana ada cowok yang menyatakan perasaan sambil marah-marah?”

“Sudah kubilang berkali-kali, bukan? Saya galak itu tergantung kamunya sendiri. Kalau kamu tidak bandel ya aku juga tidak akan galak. Sudahlah, ayo kita cari makan. Perutku sudah keroncongan.”

~ *** ~

Karpet merah terhampar di depan pintu rangkap gedung serba guna ini. Begitu memasuki pintu itu berbagai rangkaian bunga menghiasi lorong aula yang dijaga oleh dua orang wanita cantik yang menyodorkan buku tamu untuk diisi dan memberikan suvenir kepada semua tamu undangan yang datang. Setelah melewati lorong itu, aku sampai pada sebuah aula yang luas dengan berbagai stan makanan di pinggir dan di tengah aula. Sementara itu, di sepanjang pinggiran karpet merah yang membentang membelah aula, berdiri banyak orang yang kukenal. Teman-teman saat kuliah, rekan kerja, bahkan aku juga melihat Tania beserta suaminya. Mereka semua menampakkan senyum bahagia dan memandang ke satu arah yang sama, yaitu aku dan seorang wanita yang berdiri sangat anggun di sampingku, bersama-sama kami menuju ke pelaminan di seberang ruangan dengan perasaan yang sangat bahagia.

~ *** ~

Fin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline