Lihat ke Halaman Asli

Kata yang Tak Terucapkan

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Piip.... Thank you...

Suara itu terdengar begitu kutempelkan ibu jariku di salah satu bagian dari mesin kehadiran yang berbentuk kotak hitam dan tertempel di tembok gedung kantor ini. Dari layar mesin itu terlihat sebuah gambar jam dengan garis-garis hitam di tengahnya yang menunjukkan waktu pukul 7.12.

Ah, sial. Lagi-lagi aku datang terlalu cepat. Dengan santai, aku berjalan menaiki tangga menuju lantai dua gedung kantor yang pembangunannya baru saja selesai dan mulai kami tempati seminggu yang lalu. Aku berjalan menuju pantri, mengambil sebuah gelas putih dari sederetan gelas di rak kayu, dan mengisinya dengan air minum sebelum membawanya ke ruang kerja.

Ruang kerja tampak lengang. Teman-teman dan pegawai lainnya belum ada yang datang di pagi hari ini, kecuali satu orang cleaning service yang sudah datang dan sedang mengepel lantai kantor.

“Selamat pagi, Pak,” sapanya sambil mencelup-celupkan kain pel ke dalam ember hijau berisi air. “Datang kepagian lagi?”

“Iya, Pak. Padahal saya sudah sengaja berangkat lebih siang hari ini. Eh, ternyata anak sekolah hari ini sudah mulai libur, jalanan jadi longgar banget.”

Aku menyalakan laptopku di atas meja dan langsung membuka kertas kerja yang tengah kukerjakan sejak kemarin. Kuentakkan jari-jariku di atas tuts papan ketik dan memasukkan berbagai macam formula di dalam kertas kerja. Semakin cepat kuselesaikan kertas kerja ini, maka semakin cepat pula laporan audit ini selesai, kataku dalam hati.

“Selamat pagi, Rio!” Tanpa harus menoleh, aku sudah tahu kalau itu adalah suara Tania, rekan satu timku. “Masih sendirian?”

“Iya nih. Capek juga jadi jomblo terus-terusan,” jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.

Tania tertawa. “Bukan itu maksudku. Ini kantor kok sepi banget, memangnya yang lain pada ke mana?”

“Iya, iya, aku mengerti kok maksudmu.” Aku pun ikut mengulas senyum. Kalau dipikir-pikir, jawabanku tadi bodoh juga. “Kau seperti tak tahu saja, yang lain pasti terlambat. Biasanya mereka datang setelah jam 8.30, atau mungkin saja mereka sedang ke klien. Pak Riyal saja sedang di Balikpapan sampai dua minggu ke depan. Si Heru juga sekarang sedang di Cikarang.”

“Untunglah, kupikir aku saja yang terlambat hari ini.”

“Ya terlambat sih boleh saja asalkan pekerjaanmu sudah selesai. KKP-mu sudah selesai belum? Aku mau kirim adjustment ke klien dan menyiapkan draf laporan.”

“Iya, iya. Sudah selesai kok. Judes amat sih? Bersantailah sedikit, kalau galak begitu bagaimana bisa dapat jodoh nanti?” kata Tania sembari menyalakan laptopnya di samping meja kerjaku. Soal jodoh? Aku tak begitu memikirkannya. Bahkan aku tak peduli, selama dia duduk di sebelah meja kerjaku ini.

Sent! Cek email ya.” Sebuah notifikasi muncul di layar laptopku. Email yang berisikan kertas kerja pemeriksaan dari Tania telah masuk.

“Oke, nanti ku-review. Oh, iya, minggu depan kau mau ikut denganku ke Bali? Aku belum tahu mau mengajak siapa untuk timku ke sana.”

“Aduh, maaf banget, Rio. Ini hari terakhirku di kantor.”

Entakan tanganku di atas papan ketik mendadak berhenti. Kualihkan pandanganku dari layar laptop ke wajah Tania dengan dahi yang berkerut, kaget. “Kamu resign? Kenapa kamu tak pernah cerita?”

“Karena aku mau buat kejutan.” Tania mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kartu undangan pernikahan dengan namanya terukir di sana. “Hari Minggu besok aku menikah dan sudah kuputuskan untuk berhenti bekerja karena aku harus ikut suamiku ke luar pulau Jawa.”

Ya, Tania benar-benar membuat kejutan untukku hingga lidahku kelu dan badan ini bergeming di depan meja. “Selamat ya.”

“Terima kasih. Maaf ya baru sempat memberi tahu sekarang. Habisnya undangan ini baru selesai dicetak kemarin. Untung masih sempat disebarkan. Nanti kamu datang ya. Semua orang di kantor diundang kok.”

Aku mengulas senyum tipis. “Pasti.” Aku mengalihkan kembali pandanganku ke layar laptop dan melanjutkan pekerjaan yang kuragukan untuk bisa diselesaikan sesuai jadwal yang kubuat. “Berarti hari ini ada makan-makan sekantor dong ya?” tanyaku berbasa-basi.

“Ah, tak usahlah. Kan makan-makannya di acara resepsi nanti.” Aku tak begitu memerhatikan jawaban Tania itu karena pikiranku sudah entah berada di mana.

~ *** ~

Malam hari ini langit begitu cerah. Meski bintang-bintang yang terlihat di angkasa hanya sedikit, setidaknya tidak ada hujan yang turun, jadi aku bisa duduk bersandar di tempat favoritku ini. Setelah acara makan-makan di kantor—karena acara perpisahan Tania—aku segera mengasingkan diri dari ruangan dan beralih ke tempat ini.

Memikirkan Tania yang akan menikah, rasanya daya tahan jiwa dan raga ini mendadak menurun. Entah sudah berapa kali aku kehilangan fokus di hari ini, ditambah dengan kepala yang mendadak sakit dan tubuh yang lemas. Menyendiri di bawah langit malam yang bersinarkan cahaya rembulan sambil memutar—berulang kali—sebuah lagu dari ponselku, semoga saja dapat membantuku untuk menenangkan diri dari keadaan ini.

“Hei! Ternyata kamu di sini.”

Aku tersentak saat mendengar suara yang khas itu. Awalnya kupikir itu hanya datang dari imajinasiku sampai aku melihatnya berdiri di sampingku.

“Kamu kenapa duduk sendirian di sini? Bengong begitu sambil mendengarkan lagu—yang kayaknya sih sedih? Galau ya? Banyak pikiran?” Tania kemudian ikut duduk di sampingku dan matanya memerhatikan raut wajahku dengan saksama. Jantungku mendadak berdegup kencang. Sontak kumatikan lagu yang kunyalakan dari ponsel sebelum ia tahu alasan aku memutar lagu itu.

“Ah, tidak. Aku hanya ingin sendirian saja,” jawabku dengan tatapan lurus ke langit.

“Kok tumben? Biasanya kamu kalau ada masalah cerita denganku.”

“Ah, tidak kok. Aku memang suka duduk di sini kalau kerja lembur sampai malam. Melihat bintang, menikmati angin malam, memikirkan banyak hal. Yah, untung saja gedung baru kantor kita ini punya atap yang terbuka seperti ini.”

“Serius deh, kamu jadi aneh begini Rio. Kita sudah lama bersahabat tapi baru kali ini aku lihat kamu galau begini. Kalau ada masalah, cerita saja, seperti biasanya.”

“Baiklah,” sejujurnya aku tak tahu ingin menjawab apa. Bagian dari otakku yang pandai mengarang alasan entah mengapa mati mendadak. “Aku hanya bingung. Kalau kamu menikah nanti, aku harus curhat ke siapa? Aku tak punya teman dekat lainnya, dan kita tak mungkin terus menerus bisa mengobrol dekat seperti ini setelah kamu menikah nanti.”

“Ya Tuhan, begitu saja kok bingung. Itu sih gampang, kau harus cari pacar dan menikah, biar ada yang mengurusimu nanti. Kau juga harus ingat kalau pria seumuranmu di negara ini sudah banyak yang menikah lho,” kata Tania menasihati.

Aku tersenyum tipis. “Entahlah. Sepertinya aku belum menemukan wanita yang cocok.”

“Kamu juga jangan memikirkan pekerjaan terus,” tambahnya. “Aku tahu kalau kamu itu orangnya super rajin dan perfeksionis, tapi kalau memikirkan pekerjaan terus, nanti jadi tak ada waktu untuk mencari jodoh,” dan Tania pun tertawa.

“Ah, sudahlah. Tak usah dibahas lagi.” Setiap kali Tania menyinggung soal jodoh, dadaku merasa sesak dan ingin segera menyudahi pembicaraan itu. “Oh iya, kamu kenapa belum pulang? Apa yang lain belum pada pulang juga?”

“Orang-orang sih sudah banyak yang pulang. Aku hanya ingin mencari kamu saja karena tadi kamu mendadak hilang begitu.”

“Hei, Tania, kamu mau menemaniku mengobrol untuk malam ini?” pintaku. Saat Tania mengatakan itu, seketika pikiranku berbicara bahwa di kemudian hari nanti takkan ada lagi waktu bagi kami bisa mengobrol bersama seperti ini lagi. “Aku sangat butuh teman malam ini.” Mataku kini terasa basah. Aku ragu antara kelilipan atau pikiranku yang berjalan terlalu jauh dan terbawa suasana.

“Tentu saja. Mana mungkin aku meninggalkan sahabatku galau sendirian,” jawabnya degan senyuman lebar di wajahnya.

Malam itu aku menghabiskan waktu dengan Tania, membicarakan banyak hal, untuk sesaat melupakan kenyataan bahwa Tania, sahabat yang kucintai akan segera menikah dan aku akan kehilangan dirinya untuk selamanya.

~ *** ~

Karpet merah terhampar di depan pintu rangkap gedung serba guna ini. Begitu memasuki pintu itu berbagai rangkaian bunga menghiasi lorong aula yang dijaga oleh dua orang wanita cantik yang menyodorkan buku tamu untuk diisi dan memberikan suvenir kepada semua tamu undangan yang datang. Setelah melewati lorong itu, semua orang akan sampai pada sebuah aula yang luas dengan berbagai stan makanan di pinggir dan di tengah aula. Sementara itu, tepat di seberang pintu masuk, kedua mempelai yang melangsungkan pernikahan duduk di pelaminannya.

Dari seberang, aku bisa melihat Tania duduk bersebelahan dengan pria berpostur tinggi ideal dengan badan yang “berbentuk” di sana. Sempat terlintas di pikiranku bahwa akulah yang sepantasnya duduk di sana bersama Tania, tapi rasanya juga tak cocok bila orang yang duduk di samping Tania itu pria yang kerempeng dan tampak rapuh sepertiku ini.

Di saat aula ini dipenuhi orang-orang yang berlalu lalang, mengobrol, dan mengantre di depan stan makanan, aku lebih memilih bersandar di sudut ruangan, memerhatikan Tania yang wajahnya bersinar seribu kali lebih cantik dari biasanya, mengulas senyum kepada semua orang yang menyalaminya dan mengucapkan selamat atas pernikahannya itu.

Dadaku mendadak sakit. Rasanya ingin segera pulang, namun teman satu kantorku yang baru datang menggiringku untuk memberikan ucapan selamat juga pada Tania. Aku kehilangan kata-kata begitu berdiri di depan Tania. Oh, Tuhan, ia nampak cantik sekali.

“Se... selamat ya, Tania,” ucapku terpatah-patah.

“Terima kasih ya, Rio,” jawab Tania dan suaminya yang tak sanggup kupandang wajahnya. Saat memberikan ucapan selamat itu, Tania mendekatkan kepalanya ke telingaku. Ia pun berbisik, “Rio, aku ada satu permintaan. Tolong jangan buru-buru pulang ya.”

Aku tak dapat membayangkan permintaan macam apa yang diinginkan Tania, tapi... apa pun itu akan kulakukan demi Tania. Aku menunggu di sudut tempatku bersandar tadi. Teman-teman satu kantor yang kukenal sudah sibuk mencicipi semua makanan yang tersedia di acara resepsi pernikahan ini, namun aku tak tergiur untuk melakukan hal yang sama. Pikiranku kosong dan hanya ingin menjauh dari kerumunan ini secepatnya.

Kira-kira lima belas menit aku menunggu, kulihat Tania mengambil sebuah mikrofon dan memberikan sambutan, ucapan terima kasih, dan sebagainya. Namun, di akhir sambutan singkatnya itu, ia memintaku untuk menggantikan pembawa musik untuk sementara. Ya, Tania memintaku untuk membawakan sebuah lagu. Bagaimana mungkin aku membawakan sebuah lagu pernikahan jika wanita yang kucintai malah duduk di pelaminan bersama dengan pria lain?

“Sudah, tak usah malu, Rio. Bawakan saja lagu apa pun yang kau suka.”

Agak ragu sebenarnya, tapi aku sudah berjanji untuk memenuhi permintaan Tania yang satu ini. Aku tak bisa menolak janji yang telah kubuat dengan diriku sendiri. Aku melangkah ke panggung para pengiring musik dan duduk di depan sebuah piano.

“Maafkan saya karena tak begitu tahu lagu pernikahan, jadi mungkin hari ini saya hanya bisa membawakan sebuah lagu yang paling saya hafal,” kataku pada semua orang di aula ini.

Tanganku bergerak pelan di atas tuts piano, memainkan musik intro dari lagu yang akan kubawakan. Lalu dengan mikrofon yang terpasang di depanku, aku pun bernyanyi dengan memori akan kenangan bersama Tania memenuhi kepalaku.

Spending another night alone,

Wondering when I’m gonna ever see you again.

Thinking what I would give to get you back baby.

I should have told you how I felt then,

Instead I kept it to myself.

I let my love go unexpressed,

‘Till it was to late, you walked away.

Tanganku terhenti sesaat, membiarkan air yang merembes dari mataku, mengalir tipis di pipiku. Dengan suara yang bergetar, kulanjutkan menyanyikan bagian refrein dari lagu yang menggambarkan perasaanku saat ini.

Was it something I didn’t say?

When I didn’t say “I love you”,

Was it words that you’ve never heard?

All those words I should have told you

All those times, all those nights, when I had the chance to

Was it something I didn’t say?

Kurasa tak begitu banyak yang memerhatikan lagu yang kunyanyikan, tapi aku bisa melihat Tania yang tatapannya tak pernah lepas dariku saat kunyanyikan lagu berjudul Was It Something I Didn’t Say tadi. Entahlah, sepertinya Tania mengerti maksud dari lagu tadi. Jika benar, aku semakin tak berani menatap matanya untuk saat ini. Dia pasti marah, padahal aku tak ingin hari-hari terakhir kami berakhir dengan citra yang buruk.

Segera aku beranjak dari panggung ini dan berjalan menuju pintu keluar, namun langkahku tertahan saat tiba-tiba seseorang menarik tanganku. Tania.

“Penampilan kamu tadi bagus banget. Sepertinya menjiwai sekali ya. Semoga kisah hidupmu tak seperti lagu itu deh.” Tapi sayang, itu sudah terjadi, kataku dalam hati. “Jangan pulang dulu ya. Kami mau ada prosesi lempar buket tangan, kamu harus dapat ya.”

Sekali lagi aku tak bisa menolak permintaan Tania. Untunglah Tania tak menyadari bahwa sebuah lagu dari grup 98 Degrees yang kubawakan tadi sebenarnya ditujukan untuk dirinya. Aku pun diseret Tania untuk berdiri di area depan pelaminan dan berkumpul dengan sejumlah orang yang juga belum menikah.

“Ingat, kau harus dapat,” kata Tania, mengingatkan.

Jujur saja aku tak suka prosesi ini. Harus berdiri di tengah kumpulan orang, berdesak-desakan untuk memperebutkan sebuah buket bunga yang konon katanya bagi siapa yang mendapatkan bunga tangan yang dilempar mempelai wanita itu, dalam waktu dekat akan segera menikah juga. Aku sendiri tak suka bila harus berdiri di tengah kerumunan ini, dan aku juga tak pernah percaya pada hal-hal seperti itu, jadi segera saja aku berjalan meninggalkan kumpulan orang.

Saat berjalan menjauhi orang-orang yang sudah berdesak-desakan, tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh ke hadapanku. Refleks, kutangkap benda itu sebelum jatuh ke lantai. Perlu waktu sekian detik sebelum aku menyadari bahwa benda yang kutangkap tadi adalah bunga tangan yang dilempar Tania. Langsung saja aku mendapat hadiah tepuk tangan yang keras dari para tamu undangan lainnya, bahkan teman satu kantorku segera mengucapkan selamat dan sebagainya, sementara aku hanya berdiri terpatung dengan pikiran yang kosong.

Tania sekali lagi turun dari pelaminannya dan berdiri di hadapanku. Tanpa kuduga, Tania memelukku erat dan menitikkan setetes air dari mata kanannya.

“Terima kasih atas semuanya, Rio. Momen berharga kita akan selalu kukenang seumur hidupku. Semoga kau juga menemukan tambatan hati dan memulai hidup yang lebih bahagia lagi. Yang penting komunikasi kita jangan sampai putus ya. Aku sayang kamu, Rio, sahabatku.”

Aku membalikkan badan dengan senyum merekah di wajah dan segaris air mata yang mengalir dari mataku. Aku pun berjalan ke luar dari aula ini dengan perasaan yang lebih tenang.

~ *** ~

Fin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline