Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Kita Lebih Suka Mengusung Perbedaan?

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Suatu ketika istri saya mengikuti pengajian HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), aalah satu yang sedang dibahasnya adalah masalah kerudung. Dengan patokan suatu dalil, kerudung didefinisikan sebagai baju terusan panjang yang biasa disebut gamis. Jika tidak demikian dianggap berdosa, termasuk menggunakan celana panjang dan baju sepotong-sepotongmeskipun sama-sama menutupi aurat.

Karena merasa penerjemahan dalil itu terlalu kaku, istri saya langsung menanyakannya dan kebetulan dia juga masih bercelana panjang gombrang. Istri saya juga tidak terima jika disebut berdosa menggunakan pakaian yang mereka contokan sebagaipakaian yang salah.

Akhirnya karena sama-sama berpegang teguh pada berpendirian masing-masing , istri saya tidak mengikuti pengajian itu lagi dan memilih dengan kelompok lain. Istri saya berpendapat bahwa menghadiri pengajian niatnya untuk menggali agama dan memperluas wawasan untuk meningkatkan keimanan, bukan untuk mendapat dogma-dogma seperti itu.

Yang dipermasalahkan adalah mengapa HTI hanya mengadili dia jang jelas-jelas sudah menutup aurat meskipun bukan dengan gamis, sementara banyak tetangga yang tetap bercelana pendek dan berbaju agak terbuka keluar rumah tidak disentuh sama sekali. Menurut saya justru itulah sasaran dak’wah yang seharusnya.

Pada kondisi lain yang tidak terkait dengan masalah agama, pengurus teras persepekbolaan nasional pecah yang melahirkan KPSI untuk menandingi PSSI. Setiap menteri pendidikan mengubah istilah system penerimaan mahasiswa di PTN dengan nama Sipenmaru, UMPTN, SMPTN dan sebagainya. Di dunia perpolitikan, sejak tumbangnya orde baru yanghanya tiga partai berkembang menjadi puluhan partai sehingga dari surat suara sebesar kertas A4 berubah menjadi halaman Koran ukuran besar.

Selain hal tersebut, masih banyak kasus lagi perdebatan yang menojolkan perbedaan-perbedaan daripada memelihara kesamaan-kesamaaanya. Padahal way of life Pancansila” telah menekankan untuk Persatuan Indonesia. Tidak saja dalam  keagamaan, pendidikan, kenegaraan atau olah raga, semua sepertinya sama-sama mengusung perbedaan dengan mengatakan "kamu salah, yang benar saya".

Pertanyaannya adalah apakah memang kebiasaan mengusung perbedaan itu sudah menjadi mental bangsa ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline