“Anak muda memang minim pengalaman, karena itu ia tak tawarkan masa lalu, anak muda menawarkan masa depan!”. Demikian kata Anies Baswedan, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah yang terpampang di website pribadinya.
Anak muda, katakan saja usia 5-17 tahun, di republik hidup di tengah suasana yang rawan terhadap kekerasan. Sebut saja misalnya kekerasan yang menimpa siswi Sekolah Dasar di Bukit Tinggi. Kasus itu setidaknya memberikan gambaran lain dari pendidikan di Indonesia. Tindak kekerasan anak usia sekolah bukan satu-satunya terjadi di bukit tinggi. Tawuran antar pelajar di pelbagai daerah juga kerap menjadi berita di media massa. Mereka, anak muda ini, apakah benar-benar bisa menawarkan masa depan?
Di sisi lain, di tengah maraknya kasus kekerasan yang menimpa anak mapun kekerasan sesama anak, dua siswa kelas VII SMP Negeri 6 Surabaya, Ramadhan Putra Himawan dan Aryo Seno Bagaskoro, menciptakan celana dalam anak anti-kekerasan seksual. Mereka menciptakan semacam alarm di celana dalam itu yang akan mengeluarkan bunyi jika dibuka paksa. Alat sederhana itu menarik dari sisi ide dan inisiatif seorang remaja tapi muski dikembangkan. Dan seperti kata Anies Baswedan, mereka minim pengalaman tapi menawarkan masa depan.
Melihat dua persoalan di atas, nampaknya ada persoalan yang sangat serius dalam dunia pendidikan kita yakni pembangunan karakter. Persoalan ini jauh lebih penting dari yang penting dalam dunia pendidikan Indonesia. Urusan Ujian Nasional yang problematis merupakan persoalan penting tapi lebih penting lagi urusan karakter. Ada banyak sumber daya manusia di Indonesia yang memiliki kemampuan akademik baik tapi banyak di antaranya berkarakter buruk. Buktinya? Setiap koruptor-koruptor besar di negeri ini adalah lulusan sarjana dan pejabat pula. Ini artinya mereka adalah manusia yang setidaknya memiliki kemampuan akademik mumpuni tapi kenyataannya karakter mereka kalah dengan anak taman kanak-kanak. Pendek kata, di negeri ini mudah mencari orang pintar daripada mendapatkan orang jujur dan berakal budi.
Mereka yang muda, yang menawarkan masa depan harus berkarakter religius, positif, kreatif, dan inovatif. Nilai-nilai dan norma-norma setidaknya menjadi pegangan hidup. Kebiasaan-kebiasaan positif di belakang hari akan membentuk masyarakat yang positif. Ada banyak orang yang mengatakan bahwa karakter positif masyarakat di republik ini mulai luntur. Mereka nyinyir pada kondisi anak bangsa yang karakternya memprihatinkan.
Kurikulum 2013 yang menekankan pendidikan karakter berusaha menjawab persoalan dekadensi karakter tersebut meski ada beberapa kekurangan dalam penerapannya. Ada sebagian guru yang masih kebingungan bagaimana menerapkan kurikulum tersebut di dalam kelas terutama pada sisi pendidikan karakternya. Selain karena persoalan sosialisasi yang masih minim, kurikulum 2013 bagi sebagian guru dianggap menjebak mereka dalam persoalan administratif yang ribet. Efeknya, tentu saja, proses pembelajaran menjadi terabaikan.
Di tengah kebingungan itu ada banyak cara sebenarnya yang bisa dijadikan alat untuk membentuk karakter seseorang. Sekolah sebagai institusi yang setiap berhadapan dengan para penerus generasi bangsa harus menciptakan habitus yang memungkinkan terbentuknya karakter positif. Sekolah memfasilitasi terhadap sarana-sarana pembangunan karakter. Sesuai dengan kurikulum 2013 yang menekan pendekatan inquiry maka sekolah tinggal membibing siswanya untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Dalam hal ini adalah nilai-nilai karate yang sebaiknya mereka pahami dan lakukan.
Cara yang paling mudah untuk memfasilitasi peserta didik adalah menyediakan bahan bacaan yang positif bagi mereka. Serta membiasakan mereka untuk membaca buku-buku yang inspiratif. Jika buku non fiksi terasa berat bagi mereka maka pilihannya adalah buku fiksi. Dalam cerita fiksi ada unsur hiburan, kegembiraan, dan ada nilai-nilai yang disampakan secara lebih lembut. Ketika di rumah mereka dihadapkan pada larangan-larangan yang membuat mereka justru menjadi tertekan dan akhirnya memberontak.
Melalui fiksi yang realis sebagaimana ditulis Hermawan Aksan dalam bukunya Pendidikan Budaya dan karakter: Takwa, Jujur dan Toleran peserta didik dan guru diajak untuk membangun karakter positif. Hermawan Aksan secara cerdik memanfaatkan fiksi sebagai model untuk menyampaikan nilai-nilai karakter yang sesuai dengan kurikulum 2013. Nilai-nilai kejujuran seperti, tidak bersikap pura-pura, berkata apa adanya, jujur pada diri sendiri dan orang lain, mengakui kelebihan dan kekurangan orang lain, menghargai hak milik orang lain, mengemban kepercayaan pada keluarga disampaikan melaui cerita fiksi yang realis.
Melalui buku fiksi para pembaca muda akan melihat diri mereka sendiri. Mereka diajak secara halus menyadari keberadan diri mereka di tengah kehidupan di seklah, keluarga dan masyarakat. Mereka diajak untuk memahami makna memaafkan, menerima dan menghormati orang lain atau mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka.
Membangun karakter positif itulah kiranya cara bagaimana kita memaknai Sumpah Pemuda pada hari ini. Kita sama-sama berjuang untuk mengalahkan diri sendiri, menyatukan semangat untuk mencapai prestasi. Dan orang-orang yang dewasa seyoganya memfasilitasi yang muda, yang menawarkan masa depan itu. Supaya kita masih ingat bahwa kita ini masih sebangsa, setanah air, dan mejunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Referensi:
Hermawan Aksan, Agustus 2014, Seri Pendidikan Budaya dan karakter Bangsa (1): Takwa Jujur Toleran. Bandung: Nuansa Cendekia.
Sumber Foto: mentoringku.files.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H