Lihat ke Halaman Asli

Agung Winarko

freedom narrator

Rasisme Itu Tradisi, Anti-Rasisme Itu Politis

Diperbarui: 1 Juli 2021   19:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

(Sebuah Dekonstruksi aksi bertagar #blacklivesmatter, June 2020)

Tahun 1960, seorang Bruce Lee membawa kabur Linda ketika orang tua Linda yang kaukasia (bule) menolak keinginan Lee yang berdarah tionghoa menikahi anaknya. Seiring ketenaran dan kesuksesan Lee pemikiran rasisme yang mengkultur dalam diri orang tua Linda berangsur-angsur teredam.

Rasisme done.
Lalu apakah seluruh keluarga besar Linda akan berpikir dengan cara yang sama seperti orang tuanya ? Apakah itu tetangganya, kerabatnya atau kebanyakan orang di Amerika Serikat saat itu ?

Tentunya tidak. Alasannya ? karena itulah kultur, tradisi yang ada dalam masyarakat (bule). Sebelum rasisme yang ada adalah tradisi. Sekelompok orang yang telah nyaman hidup dalam kesamaan (ciri, identitas). Kapan tradisi itu berubah menjadi rasisme ? ketika sekelompok orang itu melakukan ekspansi, eksodus, hijrah atau rantau dan bertemu dengan kelompok lain.

Tradisi menemui tantangannya, yaitu tradisi yang lain. Individu merasa perlu mem-proteksi identitas kelompoknya. Saat kita merasa "perlu" menyatukan kedua kelompok masyarakat itulah kemudian kita berbicara anti-rasisme.

Hari ini, bagaimana kita akan menyebut rasisme jika afro, asia, bule sama-sama berjingkrak dan lebur dalam konser Lady Gaga. Atau sekelompok bule dan asia yang menari di tengah konser diva hispanik, Jenifer Lopez. Tokoh Nick Fury yang afro dalam film Avenger (padahal seharusnya bule) pun begitu familiar, tak kunjung jadi bahan perdebatan.

Dan suatu ketika kita melihat seorang polisi kaukasia yang "membunuh" seorang afro kita spontan menyebutnya rasisme alih-alih sebuah kriminalitas atau kasus pembunuhan ? atau alih-alih menyebutnya gangguan kejiwaan ?

Yang menjadi pertanyaan bukan apakah rasisme bisa hilang tetapi apakah anti-rasisme benar-benar ada ?

kita tidak akan protes dengan iklan sabun yang menampilkan image wanita yang berkulit putih sebagai ukuran cantik. Atau sosok pria bule sebagai gambaran pria sukses. Seandainya kita menentang pun, tak juga berdaya meninggalkan channel televisi itu. Tanpa sadar kita sudah dibiasakan dan berdamai dengan "pop-racism"

Kultur berevolusi, meninggalkan bentuk rasisme yang lama dan menciptakan "rasisme" yang baru berwujud diskriminasi dalam televisi langsung menuju ruang keluarga kita. Dan kita memberi ruang untuk itu.

Ketika simbol lama (kaukasia & afro) bertemu dalam suatu kejadian George Floyd, mendadak isu rasisme yang  lama ditonjolkan kembali. Orang-orang menentangnya dengan cara yang sama seperti di era krisis rasisme di AS pada tahun 60an (aksi massa, kerusuhan, penjarahan). Pada titik ini sebaiknya kita bertanya apakah  anti-rasisme adalah sebuah simulacra ?

Istilah simulacra diperkenalkan oleh pemikir aliran postmodern, Jean Baudrillard. Simulacra, secara sederhana ibarat anda mengambil wadah untuk memetik buah jambu. Ketika wadah itu penuh buah jambu dan masih ada sedikit ruang tersisa anda isi bagian atasnya dengan sedikit buah stroberi. Lalu anda mengemas dan menjualnya seakan-akan itu sewadah penuh buah stroberi. Seolah-olah anda menjual stroberi yang pada kenyataanya adalah jambu.

Dalam jual-beli hal seperti ini ujungnya akan dikecam oleh pembeli. Tetapi dalam simulacra sebaliknya.  justru orang maklum dan senang mendapatkan barang "oplosan" itu. Orang terbiasa mendapatkan barang halusinasi itu. Itulah simulacra bercampur aduk antara tanda (simbol) dengan objek yang diwakilinya. Penampakan kecil stroberi mengambil alih (mengecoh) persepsi kita untuk mengetahui apa isi wadah yang sesungguhnya. Dan kita menerima persepsi abstrak itu dengan serta merta

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline