Lihat ke Halaman Asli

Jalur Linggarjati Gunung Ciremai Nan Aduhai

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13977573721813685882


Pendakian pemanasan, begitu saya menyebutnya.Pemanasan setelah beberapa bulan tidak melakukan pendakian.Pemanasan karena rencana tahun ini akan mendaki ke gunung Rinjani sehabis lebaran. Hitung hitung cek fisik.

Gunung Ciremai akhirnya menjadi pilihan saya dan kawan kawan.Setelah sebelumnya kami menimbang beberapa alternatif gunung seperti Cikuray,Lawu,dan Papandayan.

Gunung tertinggi se Jawa Barat itu menjadi pilihan karena memiliki trek yang konon katanya ekstrim dan menantang. Dari ketiga jalur yang ada yaitu jalur Linggarjati,jalur Palutungan dan jalur Apuy, kami memilih jalur Linggarjati.

Kami sepakat berkumpul di stasiun Cirebon. Saya sendiri berangkat dari Jakarta, 3 kawan lainnya dari Cimahi dan satu kawan cewek dari Bandung.

Sekitar pukul 2 siang kami baru bertemu di stasiun Cirebon akibat keterlambatan kereta. Kami bergegas mencari angkot untuk menuju Linggar jati. Supir angkot D5 yang kami tumpangi menawarkan untuk langsung mengantarkan menuju pos pendakian Linggar jati dengan ongkos 80 ribu. Kami sepakat setelah nego untuk menjemput seorang kawan kami di terminal Cirebon dan mampir di pasar untuk melengkapi perbekalan pendakian.

Perjalanan menuju pos pendakian Linggar jati memakan waktu kurang lebih satu jam. Melewati jalan menanjak, tak jarang terlihat segerombolan monyet-monyet dipinggir jalan dekat lokasi wisata yang saya lupa namanya.

Apabila naik kendaraan umum, pendaki hanya diantar sampai museum Linggar jati dan harus jalan atau naik ojek menuju pos pendakian yang jaraknya lumayan jauh.

Sampai di pos pendakian kondisinya sepi. Hanya ada rombongan kami saat itu. Menurut penjaga pos, ada 1 rombongan yang sudah naik malam sebelumnya sekitar 10 orang dari Jakarta.

[caption id="attachment_303713" align="aligncenter" width="588" caption="pos pendakian linggarjati"]

1397754968578889459

[/caption]

Setelah proses 'adat' dengan urusan retribusi dan dokumen, kami berangkat menuju pos pertama, Cibunar. Cibunar merupakan desa terakhir dan disini pula sumber air terakhir bisa didapat. Melalu jalanan beraspal, treking menanjak dengan kemiringan yang lumayan cukup untuk pemanasan pendakian. Kami sebut itu trek selamat datang.

Di cibunar terdapat beberapa warung, bak penampung air, toilet, mushola dan sebuah rumah singgah. Sewaktu kami sampai, warung tersebut suddah tutup, hanya ada beberapa anak muda yang bermain main di Cibunar.

Jam menunjukkan pukul 5, setelah mengisi air, kami pun melanjutkan perjalanan menuju pos Kondang amis untuk bermalam. Ada 11 pos yang harus kami lewati untuk sampai di puncak Ciremai. Pos Kondang amis adalah pos ketiga, terdapat shelter yang lumayan besar dan tempatnya luas,cukup untuk beberapa tenda.

Kami sampai sekitar pukul 8 malam. Kami langsung bergerak mengambil tugas masing masing. 2 orang mengurus urusan dapur, 3 orang lainnya mendirikan tenda. Air hangat, kebutuhan pertama yang harus dipenuhi untuk menghangatkan badan.

Tenda telah berdiri, makanan dan minuman telah siap. Malam itu kami ngobrol sembari menghangatkan diri disekeliling api unggun sambil lebih mengenal satu sama lain. Diantara kami ada yang baru pertama kali mendaki dan juga bertemu.

[caption id="attachment_303715" align="aligncenter" width="300" caption="pos kondang amis"]

1397756191907082414

[/caption]

Pagi setelah packing selesai kami bergegas menuju pos berikutnya, pos Kuburan Kuda. Dalam bayangan saya, pos Kuburan Kuda itu angker seperti kisah kisah mistis yang saya baca di internet. Dengan treking yang yang terus menanjak dan sedikit 'bonus' sampailah kami setelah sekitar 2 jam berjuang. Pos Kuburan Kuda tak begitu luas, mungkin hanya muat 2 tenda dibawah dan 2 tenda di atas. Karena masih pagi, suasananya tidak begitu angker.

Tak berlama lama kami istirahat di Kuburan Kuda. Treking panjang masih menanti kami di depan sana.

Jalan setapak, tanjakan berbatu, tanjakan akar dan sekali lagi dengan sedikit 'bonus' terus menemani sepanjang perjalanan. Tak jarang kami harus memanjat berpegangan akar atau apapun yang bisa dipegang agar kami bisa sampai tujuan.

Tanjakan Seruni tak secantik namanya, kemiringannya membuat lutut bekerja lebih keras dari biasanya. Jalur air, sempit dan licin sempat membuat saya berguling guling ria.Hal tersebut juga terjadi pada kawan lainnya yang jalan duluan.

[caption id="attachment_303716" align="aligncenter" width="300" caption="Masuk Tanjakan Seruni"]

13977566991771022023

[/caption]

Waktu hampir menunjuk jam 12, namun kami belum menemukan lokasi yang cocok untuk memasak makan siang. Setelah tanjakan Seruni, kami berencana makan siang dan istirahat di Pos Bapa Tere.Awalnya kami mengira pos bapa Tere layaknya pos lainnya. Dengan lokasi yang cukup lapang dan ada tempat untuk mendirikan tenda. Namun, hal itu meleset, pos Bapa Tere berupa jalur setapak dengan pemandangan tanjakan yang 'wow' didepan mata. Kamipun terpaksa istirahat dijalur sempit itu, karena tak mungkin melanjutkan perjalanan dengan perut yang kurang kondusif. Kami masak logistik yang dibawa, nasi,sayur, makanan kaleng, dan telur adalah makanan penambah energi untuk melewati tanjakan tanjakan berikutnya. Selesai memasak, gerimis mulai menghampiri kami. Sambil berkemas, kami menyantap makan siang dengan lahapnya. Tak lama, sejumlah pendaki terlihat turun dari tanjakan Bapa Tere. Mereka rombongan dari jakarta yang naik malam sebelum kami tiba di pos pendakian Linggar jati. Dari informasi yang didapat,sekitar 2 jam lagi untuk sampai di pos berikutnya yaitu Batu lingga.

[caption id="attachment_303717" align="aligncenter" width="300" caption="memanjat jalur "]

13977571752015609816

[/caption]

Perut sudah terisi,energi penuh kembali,tanjakan bapa tere menanti. Tanjakan kami dilalui dengan memanjat dan hanya ada akar akar pohon buat pegangan.Kondisi tanah basah membuat kami harus berhati hati dalam tiap langkah. Terpeleset sedikit, kami bisa terjerembab ke bawah. Pohon pohon besar terlihat tumbang,entah karena umur atau faktor alam lainnya.Hal itu membuat sedikit jalur pendakian agak tertutup.Setelah sekitar 2 jam perjalanan kami sampai di pos Batu Lingga.

Kami memutuskan untuk ngecamp di Batu Lingga dan akan mendaki ke puncak jam 4 pagi karena kondisi fisik yang kurang memungkinkan. Di Batu Lingga masih sekitar jam 5 sore. Ada banyak waktu untuk istirahat menghimpun energi. Seperti biasa kami berbagi tugas urusan dapur dan pendirian tenda. Batu Lingga tidak begitu luas, hanya cukup untuk sekitar 4-5 tenda. Di samping kanan ada tempat penampung air hujan sederhana terbuat dari plastik yang dipasak oleh ranting pohon. Air tersebut bisa digunakan ketika ada pendaki dalam kondisi darurat kehabisan air. Memang tidak bersih air dalam penampungan tersebut. Namun dalam kondisi kepepet air bisa digunakan.

[caption id="attachment_303718" align="aligncenter" width="300" caption="Camp terakhir di Batu Lingga"]

13977573721813685882

[/caption]

Usai makan malam, kami menyiapkan perbekalan untuk summit attack besok pagi. Hanya satu tas ransel berisi logistik, peralatan masak dan kamera yang kami bawa. Tak lupa air yang harus kami manajemen sebaik mungkin agar tidak kekurangan ketika turun nanti. Senter dan jas hujan menjadi alat wajib yang harus dibawa sendiri sendiri.Setelah persiapan selesai, kami istirahat tidur pukul 8 malam. Lelah, udara dingin dan suara alam seolah membawa kami menuju negeri mimpi.

Tepat pukul 3 pagi kami bangun. Teh hangat dan roti selai cukup untuk sarapan pagi itu. Kami bergegas menuju pos berikutnya. Masih ada sekitar 4 pos lagi yang harus kami lalui. Berjalan tanpa beban berat membuat langkah sedikit cepat meskijalur makin menanjak. Suasana yang masih gelap membuat membuat kami berkonsentrasi hanya untuk beberapa langkah kedepan.

Nampaknya perkiraan kami meleset, semula kami kira perjalanan menuju puncak hanya sekitar 2 jam,namun kenyataannya 4 jam baru kami sampai di Puncak Panglongokan. Sunrise kami dapati setelah pos Sanggabuana 2, itupun sang mentari tertutup awan. Di pos Pengasinan hari sudah mulai terang. Tinggal satu trek lagi kami sampai puncak Panglongokan. Ada satu rombongan yang bebarengan naik bersama kami. Mereka dari Bandung. Yang ngecamp di bawah Batu Lingga.

Setelah berjuang selangkah demi selangkah, akhirnya kami sampai puncak. Kami disambut kabut yang menutupi sebagian kawah puncak Panglongokan. Disana sudah ada satu rombongan yang sampai duluaan sedari tadi. Puncak Panglongokan Ciremai berupa tebing berbatu mengelilingi kawah. Disisi lain merupakan puncak yang dilalui lewat jalur Apuy dan Palutungan.

[caption id="attachment_303719" align="aligncenter" width="300" caption="here we are @3078 Mdpl"]

1397758246777473010

[/caption]

Tak banyak yang kami lakukan, kecuali memasak bekal, foto foto dan menikmati pemandangan di ketinggian 3078 Mdpl dalam kondisi sedikit berkabut. Minuman hangat dan cemilan menjadi pelengkap kenikmatan pagi itu.Rasa capek setelah melewati tanjakan demi tanjakan serasa meleleh digantikan ketakjuban yang luar biasa akan ciptaan Sang Maha Pemilik Segala. Kami datang bukan untuk menaklukkan alam, kami datang bukan untuk sombong telah menggapai puncak Mu, kami datang untuk bersyukur atas apa yang telah Engkau ciptakan dan berikan pada kami. Bahwa kami memang sangat kecil dihadapanMu.

Ciremey,,, hutanmu lebat,jalurmu padat,tanjakanmu hebat,,,namun kami belajar darimu tentang apa itu Nikmat.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline