Lihat ke Halaman Asli

Agung Widiatmoko

Pekerja Biasa

Kemeriahan Karnaval dan Realitanya

Diperbarui: 3 Agustus 2024   09:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo


Kita pasti tahu event atau karnaval yang di selenggarakan oleh Desa - desa setiap tahun nya. Mulai dari parade sound system, pameran kostum dan entah kemeriahan apa lagi yang ditunjukan di jalanan. Menariknya Karnaval tadi selalu di ikuti oleh banyak orang dan begitu meriah. Tetapi tidak sesuai realita atau bahkan yang terjadi di baliknya.
Banyak warga yang mengeluh, terutama yang sudah berumur, mungkin lain pada yang usia muda.  

Tahukah kita semua bahwa semakin meriah sebuah pesta biaya semakin tinggi? Hal ini juga berlaku pada even karnaval. Semakin meriah kostum yang dipamerkan biayanya semakin tinggi. Lantas siapa yang menanggung biaya tersebut? Biaya tersebut setidaknya di tanggung oleh iuran yang di bebankan kepada hampir setiap warga nya.

Kita ambil satu contoh semisal satu RT terdapat 44 kepala keluarga. Bila mereka harus mengeluarkan uang sebesar Rp. 50.000.000, maka setiap kepala keluarga akan di bebankan kurang lebih sekitar 1.200.000. Biaya tersebut sepenuhnya ditanggung oleh warga setiap desa. Bahkan lebih miris lagi adalah sudah harus membayar biaya sebesar itu yang merupakan sebuah keharusan, masih harus di berikan sanksi berupa denda apabila tidak ikut ambil bagian dalam karnaval tersebut. Dan hal ini sudah seperti menjadi sebuah peradaban karena sudah terjadi mungkin sekitar puluhan tahun.

Padahal seharusnya parade atau karnaval tadi merupakan tanggung jawab perangkat desa setempat, tanpa harus membebankan biaya kepada masyarakatnya. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, biaya di bebankan kepada masyarakat atau warga nya, sedangkan ketika mendapatkan penghargaan yang menerima justru perangkat desanya. Bukankah ini artinya bahwa terjadi pembodohan secara terang terangan dan justru di dukung oleh semua warga bahkan semua seolah Menutup mata.

Di sebuah desa di Kabupaten Malang misalnya, Untuk iuran Karnaval bisa beragam bergantung pada tingkat kemeriahan nya. Yang usia muda di berikan beban iuran sebesar 1.000.000 sedang yang usia tua hanya setengah nya. Iuran ini sifatnya wajib dan harus di penuhi, demi suksesnya acara tersebut. Apakah semua warga rela dengan iuran tersebut? Jawabnya tidak, tetapi karena rasa sungkan, dan ketakutan akan anggapan warga sekitarnya akhirnya mereka mau tidak mau harus membayarnya sekalipun itu terlalu berat. Sangat di sayangkan di balik realita kemeriahan sebuah karnaval ternyata banyak sambatan warga yang terpaksa menahan air matanya, karena keterpaksaan dalam menanggung besarnya iuran tersebut. Tentu saja iuran sebesar itu tidak terlalu berarti bagi yang ekonominya berkecukupan, tetapi bagi yang ekonominya kurang beruntung, apakah hal itu menjadi lumrah jika di wajibkan dan sudah menjadi budaya tahunan?

Biliksunyi
Malang 3 Agustus 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline