Lihat ke Halaman Asli

Satu Tahun untuk Selamanya: Mengapa Memilih Wahana Internsip yang Mana?

Diperbarui: 9 Januari 2016   11:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pemilihan wahana internsip merupakan salah satu saat yang menegangkan bagi lulusan dokter baru program KBK. Memang tidak se-menegangkan rangkaian UKMPPD sampai pengumuman kelulusan, namun setidaknya ritual pemilihan ini disiapkan secara spesial oleh sebagian besar dokter. Proses ini juga berbeda dari seleksi pegawai pada umumnya, karena seluruh dokter baru akan dipastikan mendapat tempat bekerja. Yang jadi menegangkan adalah tidak seorang pun dapat memastikan dirinya akan bekerja di mana, sampai ‘klik’nya di website pemilihan wahana dinyatakan sukses. Bagi sebagian orang, masa internsip satu tahun ini bukan hanya sebagai pelunasan kewajiban terhadap undang-undang, namun juga persiapan membangun masa depan. Masing-masing orang punya motivasi tambahan dalam menjalani internsipnya. Ada yang bercita-cita sepulang internsip nanti bisa mengantongi surat rekomendasi studi lanjut, mengantongi buku rekening tabungan yang sudah bertambah banyak jumlahnya, atau bahkan mengantongi surat nikah. Apa pun itu motivasinya, cerita tentang dokter internsip tidak pernah membosankan, diawali dari proses pemilihan wahananya.

Dalam prosesnya, paling tidak calon doker internsip akan berkonsultasi dengan orang tua, suami/istri, atau mertua untuk memilih wahana yang sesuai. Biasanya pertimbangan kedekatan dengan tempat tinggal keluarga menjadi prioritas utama dalam pemilihan  wahana internsip. Wahana internsip tersebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Dengan begitu, pilihan menjadi sangat terbuka bagi seluruh dokter untuk bisa bekerja di mana pun daerahnya.

Pertimbangan kedua adalah asyik/tidaknya suasana kerja di wahana tersebut. Dokter-dokter yang masih muda ini tentu sudah kenyang rasanya ‘menikmati’ hidup yang keras sebagai dokter muda dulu. Mereka tentu sebisa mungkin menghindari lingkungan kerja yang mirip-mirip seperti itu. Dalam lubuk hati terdalamnya, mereka sudah merasa ‘lelah diperbudak’ oleh pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan keilmuannya, dan ‘muak diperalat’ oleh pihak-pihak yang superior. Maka dari itu mereka secara naluri akan mencari wahana yang lebih manusiawi bagi dokter super junior seperti mereka. Informasi berharga mengenai hal ini biasanya didapat dari pengalaman senior-senior yang telah lebih dahulu menjalani internsip.

Yang selanjutnya adalah uang. Ya, di zaman yang menuntut manusia menjadi semakin pragmatis ini, uang adalah faktor determinan yang penting. Dokter-dokter baru, tidak berbeda dengan manusia dewasa lainnya, juga butuh uang. Namun sayangnya, sampai sekarang tidak ada ketentuan yang mengatur pemberian gaji/jasa medis untuk dokter internsip. Interns hanya mengandalkan bantuan hidup dasar per-bulan yang besarnya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Anehnya, bantuan ini juga masih dipotong pajak. Sehingga, seringnya BHD ini pas-pasan untuk sebulan. Bila dokter tersebut sudah berkeluarga, tentu perlu pengaturan keuangan yang lebih ketat lagi. Padahal mereka juga harus membayar iuran BPJS sendiri (tidak dibayarkan oleh pemberi kerja) di samping tanggung jawab profesi dokter yang mengharuskan untuk update ilmu kedokteran terkini dengan mengikuti seminar/workshop dengan biaya rata-rata jutaan rupiah. Yang paling miris, saat di puskesmas dokter internsip dituntut membuat program kesehatan masyarakat di wilayah puskesmas tersebut namun tidak boleh menggunakan dana anggaran puskesmas, alias harus menggunakan uang dari kantong sendiri. Padahal sebenarnya dana kegiatan promotif/preventif dari BPJS tersedia, dan juga ada dana BOK. Alhasil, tak mau rugi, dalam memilih wahana, beberapa calon interns sudah menarget wahana-wahana atau daerah-daerah yang sering memberi insentif bagi dokter interns, terutama daerah di luar Pulau Jawa.

Tidak dipungkiri, dalam evaluasinya, program internsip dokter Indonesia ini sangat membantu fasilitas-fasilitas kesehatan dalam melakukan pelayanan terhadap pasien. Maka dari itu, beberapa pimpinan RS yang berhati mulia tidak segan memberikan sekedar uang jajan untuk dokter-dokter interns sebagai ujud rasa terimakasih karena telah dibantu menangani pasien. Beberapa kepala daerah yang sadar akan peran dokter internsip dalam pelaksanaan program-program kesehatan masyarakat terutama saat di puskesmas juga menganggarkan dana bantuan khusus untuk dokter interns. Yang paling beruntung, beberapa wahana memberikan hak jasa medis atas setiap pasien yang ditangani oleh dokter internsip. Memang besarnya tidak seberapa bila dibanding dokter PTT, namun sudah cukup membuat senang dan tenang untuk hidup selama satu tahun di daerah wahana internsip. Dan sebenarnya hal ini bukan merupakan hal yang istimewa, karena seharusnya semua dokter berhak mendapatkan jasa medis sesuai pekerjaannya.

Selain itu, di antara mereka ada juga yang mengisi waktu luang dengan bekerja mengisi praktik dokter selain di wahana internsip, meskipun sebenarnya hal itu ilegal. Bayarannya tidak banyak, setiap pasien yang datang berobat, dokter mendapat fee yang tidak jauh berbeda dengan biaya parkir kendaraan roda empat. Kalau tidak ada pasien yang datang, ya cuma dapat uang duduk saja. Bahkan ada yang sampai rela bekerja hingga empat belas jam sehari demi bisa menghidupi keluarganya. Ya, profesi dokter memang pekerjaan yang fair, kalau mau dibayar ya harus kerja keras.

Alasan lainnya yang cukup menarik adalah petualangan. Sebagai anak muda kekinian, jalan-jalan adalah sebuah kebutuhan sekunder, kalau tidak boleh dikatakan primer. Dan sebagai pemuda Indonesia yang berwawasan nusantara dan sadar akan kekayaan alam negeri ini, maka kesempatan jalan-jalan ke tempa-tempat ikonik yang instagrammable merupakan salah satu pertimbangan pemilihan daerah internsip. Seperti yang saya jelaskan di awal, bahwa wahana internsip tersebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia, termasuk di provinsi-provinsi yang terkenal dengan bentang alamnya yang luar biasa indah: Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Kapan lagi ada kesempatan pergi ke sana dengan tiket pesawat yang dibayarkan oleh pemerintah? Ditambah lagi, di sana ada kesempatan mendapatkan insentif ekstra dari daerah. Hal ini menyebabkan wahana-wahana di luar Jawa selalu meiliki fans fanatiknya sendiri.

Tanpa mengesampingkan dan meremehkan alasan-alasan di atas, saya sendiri memilih wahana di mana saya bertugas sekarang karena alasan yang berbeda dan istimewa. Alasan saya memilih wahana ini adalah karena IGD RS-nya bagus dan karena ada Morning Report. Ya, saya sangat beruntung karena ‘klik’ saya bisa tepat waktu dan mengantarkan saya diterima di wahana ini. Wahana ini adalah RS tipe B pendidikan, yang artinya ada supervisor/konsulen, residen/PPDS, dan juga koass/dokter muda yang beraktivitas di dalamnya. Maka dari itu MR merupakan kegiatan wajib dan rutin diadakan dua kali seminggu. Itu artinya ada transfer ilmu antar departemen dan antar level kompetensi. Wow! Kadang juga kami, dokter internsip diajak untuk mengikuti bed-side teaching, menyaksikan presentasi jurnal ilmiah, dan tentiran oleh konsulen. Wow lagi! Tugas-tugas kami belum seberat dokter umum pegawai di RS (bahkan kadang lebih ringan dari koass), dapat BHD tiap bulan, dan dapat ilmu dari ahlinya langsung. Bagi saya yang pembelajar tipe auditorik, hal ini sangat menyenangkan. Di wahana lain, yang kebanyakan adalah RS tipe D, C, dan B non-pendidikan, hal ini rasanya sulit ditemui. Feedback kinerja dan sharing ilmu di wahana sebenarnya sangat diperlukan oleh dokter internsip, karena tujuan utama program ini adalah pemahiran. Namun, tidak semua pendamping dan wahana peduli akan hal ini.

Ada yang mau saya ralat, bukan hanya IGD di wahana ini yang bagus, namun sistem penanganan gawat darurat di kabupaten ini sudah sangat maju karena terintegrasi dengan perangkat komputer dan satelit. Pada saat tulisan ini saya buat, ibu menteri kesehatan baru saja meresmikan sistem penanganan gawat darurat terpadu di kabupaten ini, yang pusatnya adalah wahana internsip kami. Seperti yang kita ketahui, penanganan kejadian gawat darurat membutuhkan response time yang singkat. Di kabupaten ini hal tersebut bisa tercapai karena RSUD-nya berinovasi membangun Emergency Medical Service System yang komprehensif, bersama-sama dengan elemen masyarakat lainnya: kepolisian, pemadam kebakaran, dan badan penanggulangan bencana daerah. Dengan adanya sistem ini dimungkinkan untuk melakukan penjemputan dan pengantaran pasien gawat darurat dengan ambulans 119 secara lebih cekatan. Tentunya ini juga menjadi tempat pengalaman dan pembelajaran yang menantang untuk kami dokter internsip.

Intinya, selama lebih dari satu bulan kami menjalani PIDI di wahana ini, saya merasa beruntung dapat bekerja di sini. Saya berharap sampai genap satu tahun dua belas bulan nantinya, kami tidak merasa sia-sia dalam menjalani program ini, syukur-syukur ada karya yang bisa dihasilkan. Kami yakin ilmu yang kami dapatkan akan sangat banyak dan bervariasi, selain pengalaman dan kenangan yang pasti sulit untuk dilupakan. Meskipun, dalam hati saya juga masih berharap kepada pak direktur dan pak bupati untuk memberikan insentif selayaknya bagi kami dokter internsip ini. Paling tidak, bisa membantu kami untuk ikut seminar/workshop, demi meningkatkan kemahiran kami dalam melayani pasien. Iya, kan, pak? Hehehe..

Coba tebak, di manakah wahana internsip saya berada?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline