Sehubungan dengan hari Koperasi 12 Juli 2021 maka Penulis tertarik membahas tentang Koperasi di Indonesia.
Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, ibarat anak emas bagi pelaku koperasi dan usaha mikro kecil dan menengah. Kemudahan, dukungan, perlindungan dan pemberdayaan terhadap koperasi dan UMKM ini adalah agar mampu memperluas lapangan kerja dan berperan dalam pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mampu tumbuh menjadi usaha yang berkelanjutan dengan skala yang lebih besar dalam rangka untuk mendukung kemandirian perekonomian nasional.
Koperasi berdasarkan jenis usahanya dibedakan menjadi 4 jenis, yakni koperasi simpan pinjam, koperasi konsumen, koperasi produsen, dan koperasi jasa.
Dari hasil pendataan Kemenkop UKM, pada akhir tahun 2020, total jumlah Koperasi Aktif adalah 127.124 unit dengan jumlah total anggota 25.098.807 orang.
Walaupun saat ini kontribusi koperasi terhadap PDB masih relatif kecil, namun diharapkan akan semakin meningkat bahkan jika memungkinkan menjadi soko guru perekonomian negara.
Dalam tulisan ini penulis akan menyoroti koperasi, khususnya Koperasi Simpan Pinjam sebab saat ini di Indonesia jenis yang diminati masyarakat adalah jenis koperasi simpan pinjam dan selain itu sudah cukup banyak koperasi simpan pinjam yang mengakibatkan kerugian materil dan immateril kepada para anggotanya. Untuk hal tersebut penulis akan lebih spesifik menyoroti bagaimana sifat perilaku koperasi simpan pinjam tersebut.
Koperasi Simpan Pinjam (KSP) adalah koperasi yang memiliki usaha tunggal yaitu menampung simpanan anggota dan melayani peminjaman. Anggota yang menabung akan mendapatkan imbalan jasa dan bagi peminjam dikenakan biaya jasa. Besarnya jasa bagi penabung dan peminjam ditentukan melalui rapat anggota. Jadi seharusnya KSP melakukan prinsip-prinsip keterbukaan kepada anggota, pengelolaan keuangan secara hati-hati, pembagian sisa hasil usaha yang adil, berupaya bekerja secara mandiri untuk menuju usaha yang berkelanjutan. Hal tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) atau tata kelola perusahaan, yakni Transparency, Accountability, Responsibility, Independence dan Fairness serta ciri utama untuk koperasi yakni adanya dasar asas kekeluargaan.
Namun disayangkan tidak sedikit KSP dalam pengelolaannya tidak menerapkan GCG, baik disengaja maupun tidak disengaja sehingga menyebabkan "gagal bayar" terhadap hak anggota. Hal tersebut umumnya diakibatkan :
- Pengurus tidak memahami GCG / Tata Kelola koperasi Yang Benar,
- Pengurus tidak hati-hati dalam mengelola dana sehingga anggota yang meminjam tidak bisa mengembalikan pinjamannya,
- Kurangnya penerapan teknologi informasi yang sangat diperlukan dalam pengelolaan keuangan,
- Oknum Pengurus melakukan kecurangan/penggelapan atas dana anggota,
- Pengurus secara bersama-sama ("Para Pelaku Kejahatan") melakukan "Shadow Banking" secara terencana, tersistem dan masif dengan tujuan "Penggelapan / Perampokan" dana anggota secara besar-besaran.
Dari ke 5 kriteria diatas, yang paling berbahaya adalah point ke 5, sebab mengakibatkan begitu banyaknya anggota KSP yang mengalami kerugian.
"Shadow Banking" pada KSP adalah suatu aktivitas KSP yang melakukan penghimpunan dana, investasi serta pinjaman, namun aktivitas KSP tersebut seakan lepas dari pengawasan Kemenkop UKM dan Otoritas Jasa Keuangan, bahkan "Para Pelaku Kejahatan" dengan mudahnya terhindar dari regulasi Kemenkop UKM dan OJK sehingga memungkinkan mereka lepas dari jerat sanksi pidana.